Thursday, December 29, 2016

Tags


BAB III
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
MENURUT IBNU MASKAWAIH DAN IMAM AL GHAZALI

A.    Ibnu Maskawaih
1.                  Biografi Ibnu Maskawaih
Sebelum membahas tentang pendidikan akhlak peneliti akan memaparkan biografi dan riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih. A. Biografi Ibnu Miskawaih Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali al-Khazim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir di Ray (sekarang Teheran) pada tahun 320 H/932 M, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Maskawaih hidup pada masa  pemerintahan  Dinasti  Buwaih  (320-450/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syi’ah.[1] Nama ini diambil  dari  nama  kakeknya  yang  semula  beragama  Majusi  (Persia)  yang kemudian  masuk  Islam.  Julukannya  adalah  Abu  „Ali,  yang  merujuk  kepada sahabat „Ali bin Abi Thalib.[2]
Dilihat  dari  tahun  lahir  dan wafatnya,  Ibnu Miskawaih  hidup  pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Buwaih yang beraliran Syi’ah  dan  berasal  dari  keturunan  Parsi  Bani  Buwaih  yang  mulai  berpengaruh sejak  khalifah  al-Mustakfi  dari  Bani  Abbas  mengangkat  Ahmad  bin  Buwaih sebagai  perdana menteri  (Amir  al-Umara’)  dengan  gelar Mu’izz  al-Daulah  pada 945 M. Ayahnya  bernama Abu  Syuja’ Buwaih,  adalah  seorang  pemimpin  suku yang  amat  gemar  berperang  dan  kebanyakan  pengikutnya  berasal  dari  daerah Pegunungan Dailan di Persia, di daerah pegunungan pantai selatan  laut Waswain yang merupakan pendukung keluarga Saman.[3]
Tiga anak Buwaih di antaranya Ahmad bin Buwaih, mengadakan ekspansi ke  daerah  selatan,  hingga  berhasil  menduduki  Asfahan,  kemudian  Syiraz  dan daerah  sekitarnya  pada  tahun  934  M.  Dua  tahun  berikutnya  dia  berhasil menaklukkan  Khuziztan.  Kemudian  Khuziztan  yang  dipilih  menjadi  ibu  kota kekuasaan  mereka.  Pada  tahun  945  Ahmad  bin  Buwaih  berhasil  menaklukkan Baghdad di saat Bani Abbas berada di bawah pengaruh kekuasaan Turki. Dengan demikian,  pengaruh  Turki  terhadap  Bani  Abbas  digantikan  oleh  Bani  Buwaih yang  dengan  leluasa melakukan  penurunan  dan  pengangkatan  khalifah-khalifah Bani Abbas.[4]
Puncak  prestasi  atau  zaman  keemasan  kekuasaan  Bani  Buwaih  adalah pada masa  „Adhud al-Daulah yang berkuasa dari  tahun 367 hingga 372. ’Adhud al-Daulah  adalah  penguasa  Islam  yang  pertama  kali  menggunakan  gelar Syahinzah  yang  berarti Maharaja,  gelar  yang  digunakan  raja-raja  Persia  Kuno. Kecuali  prestasinya  dalam  bidang  politik  yang  luar  biasa,  yang  telah  berhasil menyatukan  kembali  kembali  negara-negara  kecil  yang  memisahkan  diri  dari pemerintahan  pusat  hingga menjadi  imperium,  besar  sebagaimana  dialami  pada masa Harus  al-Rasyid, ‘Adhud  al-Daulah  amat  besar  juga  perhatiannya  kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan.[5]
Pada  masa  inilah  Ibnu  Maskawaih  memperoleh  kepercayaan  untuk menjadi  bendaharawan  ‘Adhud  al-Daulah,  dan  pada  masa  ini  jugalah  Ibnu Maskawaih  muncul  sebagai  seorang  filosofis,  tabib,  ilmuwan,  dan  pujangga. Tetapi  di  samping  itu,  ada  hal  yang  tidak menyenangkan  hati  Ibnu Maskawaih, yaitu  kemerosotan  moral  yang  melanda  masyarakat.  Oleh  karena  itulah  Ibnu Maskawaih  tertarik  untuk  menitikberatkan  perhatiannya  pada  bidang  etika Islam.[6]

2.                  Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Berbicara riwayat pendidikan Ibnu Maskawaih bahwa riwayat pendidikan tidak  bisa  diketahui  secara  jelas.  Namun  dapat  diduga  bahwa  pendidikan  Ibnu Miskawaih  tidak  jauh berbeda dari kebiasaan anak menuntut  ilmu pada masanya. Ahmad  Amin  berpendapat  (seperti  yang  dikutip  oleh  A.  Mustofa)  bahwa pendidikan  anak  pada  zaman Abbasiyah  pada  umumnya  anak-anak  bermula dengan  belajar  membaca,  menulis,  mempelajari  Al-Qur’an,  dasar-dasar  bahasa Arab, tata bahsa Arab, (nahwu) dan arudh (ilmu membaca dan membuat syair).[7]
Adapun  mata  pelajaran  dasar  tersebut  diberikan  di  surau-surau  di kalangan  keluarga  yang  berada  di  mana  guru  didatangkan  ke  rumahnya  untuk memberikan  les  privat  kepada  anak-anaknya.  Setelah  ilmu-ilmu  dasar  itu diselesaikan,  kemudian  anak-anak  diberikan  pelajaran  ilmu  fiqh,  hadits,  sejarah (khususnya  sejarah  Arab,  Parsi,  dan  India)  dan  matematika.  Selain  itu,  juga diberikan  macam-macam  ilmu  praktis  seperti;  musik,  bermain  catur,  furusiah (ilmu kemiliteran).[8]
Diduga  Ibnu  Miskawaih  pun  mengalami  pendidikan  semacam  itu  pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan  juga Ibnu Miskawaih  tidak mengikuti les privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru privat, terutama pada mata pelajaran-mata pelajaran  lanjutan yang biayanya sangat  mahal.  Perkembangan  Ibnu  Maskawaih  diperoleh  dengan  cara memperbanyak membaca buku, terutama saat memperoleh kepercayaan dari Ibnu al-‘Amid untuk menjaga sebuah perpustakaan.[9]
Pengetahuan  Ibnu  Miskawaih  yang  amat  menonjol  dari  hasil  banyak membaca buku  itu  ialah tentang sejarah, filsafat, dan sastra. Hingga saat  ini nama Ibnu Miskawaih  dikenal  terutama  sekali  dalam  keahliannya  sebagai  sejarahwan dan  filosuf.  Sebagai  filosuf  Ibnu Miskawaih  memperoleh  sebutan  Bapak  Etika Islam, karena Ibnu Miskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.[10]
Pada  tahun  348  H,  Ibnu  Miskawaih  hijrah  ke  Baghdad  dan  mengabdi kepada  al-Mahalbi  al-Hasan  bin  Muhammad  al-Azdi  untuk  menjadi  seorang sekretaris  pribadinya.  Setelah  al-Mahalbi  meninggal  dunia,  Ibnu  Miskawaih kembali  ke  kota  Ray  (sekarang  Teheran)  kemudian  mengabdi  kepada  Ibn  al-‘Amid,  sebagai  kepala  perpustakaan  sekaligus  sekretaris  pribadinya  sampai menteri Ibn al-‘Amid pada tahun 360 H.
Ibnu Miskawaih  belajar  sejarah,  terutama Tarikh  al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadli (350 H/960 M), dan memperdalami filsafat pada Ibn al-Khammar, merupakan tokoh yang dianggap mampu menguasai karya-karya Aristoteles. Sedangkan  ilmu  kimia,  Ibnu  Miskawaih  belajar  kepada  Abu  al-Thayyib al-Razi.[11]

3.      Karya-karya Ibnu Maskawaih
Seluruh karya Ibnu Miskawaih tidak lepas dari kepentingan filsafat akhlak, sehingga  tidak  mengherankan  jika  Ibnu  Miskawaih  dikenal  sebagai  moralis. Ibnu Maskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif. Mengenai sejak kapan ia menulis, tidak terdapat informasi yang dapat dijadikan rujukan yang pasti. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
a    Al-Fauz Al-Akbar
b.      Al-Fauz Al-Asghar
c.      Tajarib Al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M)
d.      Uns Al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah
e.       Tartib Al-Sa’adat (isinya akhlak dan politik
f.       Al-Mustaufa (isinya syair-syair pilihan)
g.      Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.      Al-Jami’
i.        Al-Siyab
j.        On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
k.      On the Compisition of the Bajats (seni memasak)
l.        Kitab Al-Ashribah (tentang minuman)
m.    Tahzib Al-Akhlak (tentang akhlak)
n.      Risalat fi Al-Lazzat wa Al-Alam fi Jauhar Al-Nafs
o.      Ajwibat wa As’ilat fi Al-Nafs wa Al-‘Aql
p.      Al-Jawab fi Al-Masail Al-Salas
q.      Risalat fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
r.        Thaharat Al-Nahs.[12]

4.      Konsep Pendidikan Islam Ibnu  Maskawaih Secara umum
a.       Konsep dasar Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Pendidikan Islam tidak terlepasa dari dasar pendidikan, karena dasar  adalah landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1)      Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
2)      Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.[13]
b.      Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1)      Kebaikan dan kebahagiaan Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan konsisten mendalaminya.
2)      Tercapainya Kemuliaan Akhlak Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kebanyakan para ahli pendidik Muslim sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam.
3)      Sebagai Sarana Sosialisasi Individu Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan jalan risntis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para sosiolog modern.[14]
c.       Metode Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan, dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1)      Metode alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2)      Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan kepiawaian bahasa dan olah kata.

3)      Metode Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya, jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
4)      Metode Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan kebajikan.[15]
c.       Asas Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan pendidikan seperti:
1)      Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil guna.
2)      Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3)      Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal yang universal.
4)      Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5)      Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6)      Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena kebiasaan hidup susah untuk diubah.[16]
d.      Pendidik Dan Subjek Didik
1)      Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni’mah al abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia.
2)      Subjek Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).[17]

5.      Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Maskawaih dalam Kitab Tahdzibul Akhlak
Akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam Alqur’an seperti kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah menunjukan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh, dan sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Agama tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali dibarengi dengan akhlak yang mulia.[18]
Pembicaraan mengenai akhlak tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini. Sebagai khalifah manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara dan memakmurkan alam ini tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala urusannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan dalam surat Shad ayat 27:
øŒÎ)ur tA$s% šu Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ 
 (QS: Al Baqarah: 30)
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS: Al Baqarah: 30).
$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur $yJåks]÷t WxÏÜ»t 4 y7Ï9ºsŒ `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4 ×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9
 (#rãxÿx. z`ÏB Í$¨Z9$# ÇËÐÈ   (QS: Shad: 27)
Artinya:
“dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”(QS: Shad: 27).
 Sebagai makhluk, manusia harus berusaha mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat Ad-Dzariyyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ   (QS: Ad-Dzariyyat: 56)
Artinya:
 “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS: Ad-Dzariyyat: 56).
Akhlak dalam Islam mempunyai beberapa prinsip utama yang menjadi landasan pemikiran. Pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat universal dan fitri. Allah berfirman pada surat Al-Syams ayat 8-10:
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya:
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, mengajarkan  agar untuk mengetahui baik dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati nurani kita. Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya semua manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya.[19]
Menurut Ibn Miskawaih, untuk menuju pada kesempurnaan diri, manusia harus melaluinya dengan aplikasi akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[20]
Sikap mental ini terbagi dua, ada yang berasal dari watak dan ada juga yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang demikian akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. Berdasarkan ide diatas Ibn Miskawaih secara tidak langsung menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.[21]
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak yang disajikan oleh Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan yang harus ditempuh, oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak. Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau polisi tengah antara dua ekstrim.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada dua orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan. Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Islam. Alqur’an dan Hadits sendiri menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal ini terdiri dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk pembentuk watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok keutamaan akhlak Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekuatan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia ini ada tiga, jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional). Posisi tengah jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan syari’at.[22]
Berikut ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
a.       Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib ditinggalkan.[23]
Ibnu Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas daya pikir.[24]
Secara sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang kemudian pengetahuan ini diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan tersebut.[25]
b.      Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa, pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang lebih spiritual dan tinggi.[26]
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya.
c.       Menjaga Kesucian Diri
Menjaga kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.[27]
Kesucian diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.
d.      Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan, keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan berupa keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami bahwa ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia.
Dalam pendidikan akhlak tidak terlepas dari komponen-komponen, yang didalamnya meliputi beberapa hal, dibawah ini akan diuraikan komponen-komponen pendidikan akhlak menurut ibnu maskawaih, yaitu meliputi:
a.       Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat). Dengan alasan ini, maka Ahmad’Abd Al-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Al-sa’adat merupakan konsep komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kebagusan/kecantikan.
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, al-sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para nabi dan filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai tingkatan ini sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya ia perlu menjelaskan adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair) dan al-sa’adat. Di samping juga membuat berbagai tingkatan al-sa’adat. Kebaikan bisa bersifat umum, sedangkan al-sa’adat merupakan kebaikan relatif, bergantung orang perorang (al-khair bi al-idafat ila shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu yang bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh karenanya, kebaikan merupakan tujuan setiap orang.
b.    Materi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu di pelajari, diajarkan atau di praktikan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan jalan bagi tercapainya tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibn Miskawaih dijadikan pula sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah swt. Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya:
1)      Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh.
2)      Hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan
3)      Hal-hal yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum mempelajarinya.
c.       Pendidik dan Anak Didik    
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan pendidikin dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak menjadi persoalan. Dasar pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara sehingga dapat mencapai keutamaan.  Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, tuan manusiawi atau orang yang dimuliakan, kebaikan yang akan diberikan adalah kebaikan Illahi, karena ia membawa anak didik kepada kearifan, mengisinya dengan kebajikan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan abadi.
d.      Lingkungan  Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai al-sa’adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling tolong-menolong dan saling melengkapi,  kondisi demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka al-sa’adat tidak dapat terwujud sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya. Ia juga menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari saudara, anak, kerabat, keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman.  Disamping itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa salah satu tabi’at manusia adalah tabi’at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha untuk  memperolehnya bersama dengan mahluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan  memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan cinta sesamanya.
e.       Metode
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.[28]


B.     Imam Al Ghazali
1.      Biografi Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali.[29] Lahir pada tahun 45 Hijriah (1058 Masehi), di Desa Teheran, Distrik Thus, Provinsi Khurasan Persia[30], yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam dan meninggal di kota Thus setelah ia mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu dan ketenangan batin. Nama Imam Al-Ghazali dan Thus dinisbahkan kepada tempat kelahirannya.[31] Dia dikenal sebagai seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, seorang teolog, seorang filosof dan sufi termasyhur. Imam Al-Ghazali adalah keturunan asli Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Bani Saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwas. sejak kecil, beliau memiliki nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad. Kemudian sesudah ia berumah tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dia dipanggil Abu Hamid.
Dalam dunia Barat, ia dikenal dengan nama latin "Algazel".Ada dua macam penulisan mengenai nama sebutan Imam Al-Ghazali. Pertama sebutan itu ditulis dengan satu huruf “z” yaitu Al-Ghazali. Sedangkan yang kedua ditulis dengan dua huruf “z” atau dengan tasydid yaitu Al-Ghazzali. Tentang hal ini, Ali al-Jumbulati Abdul Futuh al-Tuwaanisi berpendapat bahwa sebutan al-Ghazzali (dengan dua huruf “z”) dinisbatkan atau dikaitkan kepada pekerjaan ayahnya sebagai pemintal wool.
Sepertinya keluarga Imam Al-Ghazali adalah keluarga yang menekuni sebagai pemintal wool, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Maulana Syibli Nu’mani, bahwa nenek moyang Abu Hamid Muhammad adalah pemilik sebuah usaha penenunan (ghazzal), dan oleh karena itu dia meletakkan nama famnya “Ghazali” (Penenun). Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M) di Thus, dan beliau meninggalkan tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki yang bernama Hamid, yang telah meninggal dunia sejak kecil sebelum wafatnya Imam Al-Ghazali. Karena anak laki-lakinya inilah kemudian Imam Al-Ghazali diberi gelar “Abu Ahmadi” (Bapaknya si Hamid).[32]
Jenazah Imam Al-Ghazali dikebumikan di makam Ath Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur, yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris, yaitu: “Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa yang akan datang”.
Kematian Imam Al-Ghazali, bahwa pada hari senin dini hari menjelang shubuh, beliau bangkit dari tempat tidurnya lalu menunaikan shalat shubuh, setelah itu menyuruh seorang pria untuk membawakan kain kafan. Setelah kain itu diberikan kepadanya, beliau mengangkatnya hingga ke mata lalu beliau berkata, “perintah Tuhan dititahkan untuk ditaati.” Setelah itu, beliau meluruskan kakinya dan bernafas untuk terakhir kalinya.[33]

1.      Riwayat Pendidikan Imam Al-Ghazali
Pendidikan pertama yang didapat oleh Imam Al-Ghazali adalah dari keluarga yang taat beragama dan bersahaja. Dari keluarga itulah Imam Al-Ghazali mulai belajar Al-Qur'an. Sang ayah selalu menanamkan nilai-nilai keagamaan terhadap Imam Al-Ghazali sebab beliau bercita-cita agar putranya itu kelak menjadi ulama' yang pandai dan suka memberi nasehat. Setelah mengenyam pendidikan dari keluarga, pada saat umur 7 tahun Imam Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke madrasah di Thus untuk belajar fiqh, riwayat para wali dan kehidupan spiritual mereka, menghafal syair-syair mahabbah (cinta) kepada Allah, tafsir Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan guru fiqhnya di madrasah tersebut adalah Ahmad bin Muhammad al-Razikani seorang sufi besar.[34]Kemudian pada usia 15 tahun Imam Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan berguru pada Abu Nasr al-Isma'ily. Di sini ia mendapat pelajaran agama Islam seperti di Thus, tetapi sudah mulai mempelajari pelajaran bahasa Arab dan bahasa Persia. Setelah menamatkan studinya di Jurjan, pada usia 19 atau 20 tahun Imam Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke madrasah Nizamiyah Nizabur, ia berguru pada Yusuf Al-Nassaj seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain atau Al-Juwayni Al-Haramain (seorang ulama Syafi'iyyah beraliran Asy'ariyyah) hingga berusia 28 tahun. Tempat pendidikan ini yang paling berjasa dalam mengembangkan bakat dan kecerdasannya. Selama di madrasah Al-Nizabur ini Imam Al-Ghazalimempelajari teologi, hukum, dan filsafat. Dalam bimbingan gurunya itu ia sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai berbagai persoalan madzhab-madzhab. Perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fiqhnya, logikanya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang berkaitan dengannya, serta menguasai berbagai pendapat semua cabang ilmu tersebut.
Setelah al-Juwaini wafat, pengembaraan intelektual Imam Al-Ghazalidilanjutkan ke Muaskar. Di sini beliau sering mengikuti pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Wazir, seorang negarawan Baghdad. Keikutsertaan Imam Al-Ghazali mengikuti diskusi bersama para ulama di hadapan Nizam Al-Mulk membuat wazir Baghdad tertarik dengan ketinggian ilmu yang dimiliki Imam Al-Ghazali. Sehingga pada 484 H/1091 M saat Imam Al-Ghazali baru berusia 34 tahun diangkat menjadi guru besar (professor) di perguruan tinggi Nizamiyah. Ketika aktif mengajar di Nizamiyah Baghdad, Imam Al-Ghazalimenghasilkan beberapa buku fiqh dan ilmu kalam, diantaranya Al-Mustadzhiri(kaum Eskateris Dzahiriyah), dan Al-Iqtishad fi al-I'tiqad(Jalan Tengah Keyakinan).
Dalam kesempatan tersebut beliau juga tetap aktif mempelajari berbagai ilmu pengetahuan tentang filsafat Yunani dan berbagai aliran yang berkembang saat itu dengan tujuan untuk dapat membantu dalam mencari pengetahuan yang benar.
Hanya 4 tahun ia menjadi rektor, kemudian pada tahun 1095, ImamAl-Ghazali meninggalkan segala popularitas yang menyertainya, keluarga dan kemewahan menuju Damaskus untuk menempuh sebuah kehidupan sebagai seorang sufi yang fakir dan zuhudterhadap dunia. Setelah beberapa tahun beliau kembali lagi ke Baghdad dan menjadi Imam agama yang sufi serta penasehat spesialis dalam bidang agama.
Kira-kira sepuluh tahun sesudahnya beliau pergi ke Nizabur karena permintaan pemerintah untuk mengajar di Madrasah Nizabur dalam kedudukan sebagai guru. Akan tetapi dalam waktu yang tidak lama, beliau meninggalkan tugasnya dan kembali ke Thus dimana di tempat tersebut beliau membangun Madrasah (pesantren) dan mengajar di sana hingga beliau wafat. Pada masa itulah beliau menulis kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu agama).
Itulah latar belakang singkat pendidikan seorang filosof Imam Al-Ghazali yang penuh lika-liku didalam menuntut ilmu pengetahuan, dari belum mengerti apapun hingga menjadi seorang ilmuwan, ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan karena ketekunannya menuntut ilmu sampai menghasilkan dan mewariskan buku-buku berkualitas tinggi kepada generasi pemikir sesudahnya. Imam Al-Ghazali adalah seorang pemikir islam yang sangat dalam ilmunya dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya.[35]

2.      Karya-karya Imam Al-Ghazali
Karangan Imam Al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah. Karena luasnya pengetahuan Imam Al-Ghazali, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang spesialisasi apa yang digelutinya. Uraian dari nama-nama kitab Imam Al-Ghazali tersebut akan penulis sebutkan sesuai kelompok ilmu pangetahuannya, yaitu:
a.       Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam, yang meliputi:
Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, Al-Munqidz min ad-Dlalal, Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asmillah al-Husna, Faisal at-Tafriqah Bain al-Islam wa az-Zindiqah, Al-Qishas al-Mustaqim, Al-Mustadzhirin, Hujjah al-Haqq, Mufsil al-Khilaf fi Usul ad-Din, Al-Muntaha fi ‘Ilm al-Jidal, Al-Madnun bi’ala Ghairi Ahlihi, Mahk an-Nazar, Asrar ‘Ilm ad-Din, Al-Arba’in fi Usul ad-Din Iljam al-‘Awam‘an ’Ilm al-Kalam, Al-Qaul al-Jamil fi Raddhi ‘Ala Man Ghayyara al-Injil, Mi’yar al-‘Ilm, Al-Intisyar, dan Isbat an-Nazar.
b.      Kelompok Ilmu Fiqh dan Usul Fisqh, yang meliputi:
Al-Basit, Al-Wasit, Al-Wajiz, Khulasah al-Mukhtasar, Al-Mustasfa’ min ‘Ilm al-Usul, Al-Mankhul, Syifa’ al-Ghalil fi al-Qiyas wa at-Ta’lil dan Az-Zari’ah ila Makarim asy-Syri’ah.
c.       Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawwuf, yang meliputi:
Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Mizan al-‘Amal, Kimiya’ as-Sa’adah, Misykah al-Anwar, Minhaj al-‘Abidin, Ad-darar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum al-Akhirah Al-Ainis fi al-Wahdah, Al-Qurban ila Allah ‘Azza Wa Jalla, Akhlaq al-Abrar wa an-Najat min al-Asrar, Bidayah al-Hidayah, Al-Mabadi’ wa al-Ghayah, Talbis al-Iblis, Nasihah al-Mulk, Al-‘Ulum al-Laduniyah, Ar-Risalah al-Qudsiyah, Al-Ma’khadz dan Al-Amali.
d.      Kelompok Ilmu Tafsir, yang meliputi:
Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil dan Jawahir al-Qur’an.[36]

3.      Konsep Pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali
a.       Pemikiran Al Ghozali tentang pendidikan
Suatu hal yang menarik dari Al-Ghozali adalah kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas, filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran Al-Ghozali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi perkembangan sejak muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah pikirannya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghozali memberi pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang pendidikan. sehingga, kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghozali yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan :
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam…”
“… dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.[37]

Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata “hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.
Adapun yang dimaksudkan Al-Ghozali dalam kutipan ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah pelaksanaan pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses pendidikan, Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris. Subuah konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh pakar ilmu kritis saat ini.[38]
b.      Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemundaratan.
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-ghazali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena ajaran tasawuf memandang dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia merupakan tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia.[39]
c.       Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa lebih disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkannya dari sengatan api neraka di akhirat.
d.      Peserta Didik
Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghozali menggunakan dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu pengetahuan). Namun, bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi hingga manusia usi lanjut. Selanjutnya, karena dalam peembahasan ini hanya terkonsentrasi pada wilayah pendidikan formal maka bahasa peserta didik terbebani hanya bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan sekolah.[40]
Pemikiran Al-Ghozali yang sangat luas dan memadukan antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah.
Secara bahasa Kata fitrah berasal dari kata “fathara” (menciptakan), sama dengan kata “khalaqa”. Jadi kata fitrah merupakan (isim masdar) yang berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat diciptakannya manusia “asal kejadian”.
1)      Adapun kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian yang sangat luas. Al-Ghozali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa pokok sebagai berikut:
Beriman kepada Allah.
2)      Kemampuan dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
3)      Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
4)      Dorongan biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting
5)      Kekuatan lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.[41]
Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghozali dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia.
Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghozali lebih terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain :
1)      Peserta didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur. Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan bimbingan dari pendidik.
2)      Peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih sayang sesamanya.
3)      Peserta didik harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran
4)      Peserta didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.[42]
e.       Metode Dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
 Prihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak mulia.[43]

4.      Konsep Pendidikan akhslak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ikhya’ ‘Ulumudin
a.      Pengertian akhlak
Imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang dikenal pemikirannya dalam bidang ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Teori akhlaknya terdapat dalam kitab Mizan al-Amaldan karya akhlak religiusnya terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.Diteliti lebih jauh ternyata pembahasan akhlakdalam Ihya’pada hakikatnya mengikuti pandangan-pandangan yang terdapat dalam kitab Mizan.Untuk mengetahui identitas sebenarnya tampaknya kita perlu lebih lanjut mengomentari hubungan kedua kitab tersebut.
Dapat dipastikan bahwa kitab Mizanadalah karya yang lebih metodis dan komprehensif daripada bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah akhlak dari Ihya’yang berjudul Latihan Jiwa dan Perilaku Moral, Realitas Nikmatdan cabang-cabangnya. Dua bagian ini tepatnya ada dalam skema Ihya’yang menyeluruh dan nalar diskursifnya cukup dominan dalam gaya penyampaiannya. Bagian-bagian ini dimulai dengan premis bahwa “akhlak yang baik adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw”, di mana ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan akhlak banyak ditujukan kepada nabi Muhammad saw.[44]
Akhlak menurut Imam Al-Ghazali adalah Suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu)”.
Menurut Imam Al-Ghazali, lafadz khuluqdan khalquadalah dua sifat yang dapat dipakai bersamaan. Jika menggunakan kata khalqumaka yang dimaksud adalah bentuk lahir, sedangkan jika menggunakan kata khuluqmaka yang dimaksud adalah bentuk bathin. Karena manusia tersusun dari jasad yang dapat disadari adanya dengan kasat mata (bashar), dan dariruh dan nafsyang dapat disadari adanya dengan penglihatan mata hati (bashirah). Sehingga kekuatan nafsyang adanya disadari dengan bashirahlebih besar dari pada jasad yang adanya disadari dengan bashar.[45]
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa, apabila perbuatan itu baik menurut akal dan syara’, maka disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, bila yang muncul adalah perbuatan yang jelek maka disebut akhlak yang jelek.
Jadi, standart semua perbuatan terletak pada syara’ dan akal.Sedangkan yang menentukan baik dan buruk perbuatan manusia adalah syara’ (al-Quran dan hadits). Pandangan Imam Al-Ghazali ini bertentangan dengan pandangan Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa baik dan buruk adalah sifat dzatiyahterhadap perbuatan, yang dapat diketahui dengan akal semata.
Selanjutnya, ImamAl-Ghazali berpendapat bahwa yang mengetahui baik dan buruk suatu amal adalah keyakinan seseorang. Barang siapa yang menyangka dirinya suci, maka wajib menjalankan shalat. Kemudian Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa, salah satu faktor yang menentukan perbuatan itu jelek atau baik dilihat dari segi kemanfaatan dan kemadlaratannya. Menurutnya, yang membawa madlaratpastilah jelek secara mutlak.[46]

b.      Pendidikan akhlak
Istilah yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali dalam hal ini adalah Tahdzib al-Akhlaq, yang sinonim dengan kataTarbiyah danTa’dib, yang berarti pendidikan.[47]
Maksud pengertian pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali, sebagaimana yang dirumuskan oleh M. Djunaidi Ghoni adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa adanya perubahan-perubahan akhlak bagi seseorang adalah bersifat mungkin, misalnya dari sifat kasar kepada sifat kasihan. Disini Imam Al-Ghazali membenarkan adanyaperubahan-perubahan keadaan terhadap beberapa ciptaan Allah, kecuali apa yang menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang. Sedangkan pada keadaan yang lain, seperti pada diri sendiri dapat diadakan kesempurnaannya melalui jalan pendidikan. Menghilangkan nafsu dan kemarahan dari muka bumi sungguh tidaklah mungkin, namun untuk meminimalisir keduanya sungguh menjadi hal yang mungkin dengan jalan menjinakkan nafsu melalui beberapa latihan rohani. Imam Al-Ghazali membagi struktur kerohanian manusia menjadi empat unsur, yaitu nafs, qalb, ruhdan akal. Keempat unsur tersebut masing-masing mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan khusus. Pertama adalah al-nafs. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs(nafsu) dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam al-Qur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif.[48]
Apabila nafsmenenggelamkan diri dalam kejahatan, mengikuti nafsu amarah, syahwat dan godaan syetan, maka dinamakan nafs al-ammarah. Bahkan dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan “jadikanlah sebuah kekalahan dalam jiwamu (nafs). Maksudnya adalah himbauan agar memposisikan jiwa pada poros bawah, sehingga jiwa (nafs) tidak merajalela menerjang syaria’at.
Sedangkan nafs dalam pengertian yang kedua adalah merupakan hakikat, diri, dan dzat manusia karena mempunyai sifat yang latif, rabbani, dan rohani. Nafs dalam pengertian yang pertama di atas merupakan bentuknya yang tidak kembali pada Allah swt dan jauh dari Allah swt, sedang dalam pengertian yang kedua adalah merupakan nafs al-muthmainnahyang diridloi oleh Allah swt.[49]
c.       Metode pendidikan akhlak
Akhlak menurut Imam Al-Ghazali dapat berubah dengan jalan tazkiyah al-nafs, mujahadahdan riyadlah.Alasan yang dipergunakan ImamAl-Ghazali bahwa akhlak bisa berubah adalah karena akhlak (khuluq) merupakan bentuk bathin sebagaimana khalquadalah bentuk dlohir dan akhlak yang baik adalah mengekang atau menundukkan syahwat dan marah.
Hanya saja, menurut Imam Al-Ghazali (sebagaimana yang dikutip oleh M. Amin Syukur) untuk merubah akhlak itu bervariasi, ada yang sulit dan ada yang mudah. Hal ini karena adanya perbedaan keadaan pada manusia itu, misalnya: watak, kuatnya keinginan (syahwat), jeleknya pendidikan, pikiran yang sesat sehingga salah pandang, dan sebaliknya.
Seperti yang dijelaskan pada sub bab di atas, bahwa ada tiga macam penyakit jiwa yang berkaitan dengan tazkiyah al-nafs. Pertama,penyakit jiwa (uyub al-nafs) yang berkaitan dengan syahwat jasmaniah, seperti suka makan, pakaian, tempat tinggal, dan seksual. Kedua,penyakit hati (uyub al-qalb) yang berkaitan dengan syahwat hati, seperti cinta kedudukan, sombong, hasad, dan lain sebagainya. Ketiga,penyakit ruh (uyub al-ruh) yang berkaitan dengan bagian-bagian kebathinan, seperti mencari karamah dan maqamat.[50]
Said Hawwa juga menambahkan, tazkiyah al-nafsmencakup lima objek, yaitu: pertama,sesungguhnya penyebab timbulnya kotoran dalam jiwa adalah kemusyrikan dan hal-hal yang berasal darinya.Kedua,jiwa bisa saja masuk ke dalam kegelapan nifaq, kekafiran, bid’ah, kegelapan maksiat, dan dosa. Karena itu, jiwa yang bebas dari berbagai kegelapan dapat berada dalam cahaya rabbaniyah dan bisa melihat segala sesuatu dengan cahaya. Ketiga, jiwa mempunyai berbagai syahwat, sedangkan syahwat tersebut ada yang bersifat inderawi dan ada yang bersifat maknawi. Diantara syahwat inderawi adalah cinta makanan dan minuman, sedangkan syahwat maknawi adalah suka balas dendam, cinta jabatan, suka popularitas, dan menyukai kemenangan. Keempat, jiwa mengalami sakit sebagaimana jasad, lalu jiwa juga mengalami penyakit ujub, sombong, terperdaya, dan curang. Kelima,jiwa bisa terpengaruh oleh lingkungan, indoktrinasi, lintas pikiran, dan was-was. Sebagai dampak dari hal tersebut kadang-kadang jiwa mengikuti setan dan kadang mengikuti aliran sesat.[51]
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali mencoba menerangkan metode terapi kesehatan. Metode ini bertujuan untuk menanamkan kebaikan-kebaikan dalam jiwa. Menurutnya kebaikan dan keburukan dapat diakses dengan mudah sejauh kebaikan dan keburukan itu benar telah tercantum dalam syari’at dan adab. Dalam hal mengobati jiwa dan hati seorang murid, seorang guru dipandang sangat penting sebagaimana seorang dokter yang mengobati pasiennya. Oleh karena itu, pertama-tama guru harus mengetahui keburukan yang ada pada jiwa dan hati seorang muridnya.[52]
d.      Materi pendidikan akhlak
Materi pendidikan akhlak bukan suatu materi yang harus dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden curiculum). Jadi setiap guru harus memberikan contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah laku, sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di dalam sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak pada kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.
Selanjutnya dengan hidden curiculum seorang pengajar harus memiliki pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku prososial di lingkungan sekolah. selain itu masyarakat juga harus bisa disosialisikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral prososialnya dan perilaku sosialnya melalui ekspose bebas.
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi pendidikan akhlak adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui perbagai artikelnya nampaknya tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan akhlak tidak harus memuat aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih menekankan prosedur-prosedur dan pendekatan-pendekatan yang ada kaitannya dengan situasi-situasi moral. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.[53]





[1] Abuddin  Nata,  Pemikiran  Para  Tokoh  Pendidikan  Islam:  Seri  Kajian  Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 5.
[2] Urnal  El-Hikmah,  Pendidikan  Etika  dalam  Perspektif  Ibnu  Miskawaih  (Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang, Volume IV, nomor 2, Januari, 2007), hlm. 185.
[3] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), hlm. 195.
[4] Ewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam  (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 162.
[5] Khaerul  Wahidin,  Makalah:  Ibn  Miskawaih;  Filsafat  al-Nafs  dan  Al-Akhlaq (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 5.
[6] Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Jakarta: Mizan, 1999), hlm. 30.
[7] A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 168.
[8] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam  (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 89.
[9] A. Mustofa, Filsafat Islam ,…, hlm. 168.
[10] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam  (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 89.
[11] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hlm. 88.
[12] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), hal 128-129
[13] Khaerul Wahidin, Makalah: Ibn Miskawaih; Filsafat Islam (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 5
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,  Ilmu Pendidikan  Islam,  (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 27-28.
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm. 14.
[16] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 15.
[17] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 1
[18] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 130.
[19] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005) hal. 207-210.
[20] Muhamad Yusuf Musa, Bain Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971) hal. 70.
[21] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986) hal. 61.
[22] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 83.
[23] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal. 40.
[24] Ibid,  hal. 46.
[25] Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 99.
[26] Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003), hal. 312.
[27] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ,…, hal. 40.
[28] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H),40-50
[29] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 214.
[30] Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Jakub, (Semarang: As-Syifa’, 1979), hlm. 9
[31] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 25.
[32] Mansur Thoha Abdullah,Kritik Metodologi Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003), hlm. 24

[33] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din: Pensucian Jiwa, terj. Muhammad Ereska, (Depok: Iqra’ Kurnia Gemilang, 2005), hlm. 13
[34] Al-Ghazali, Al-Munqidż Min Al-Dlalal, terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), hlm. 84.

[35] Mansur Thoha Abdullah,Studi Akhlak,… hlm, … hlm. 31
[36] Ibid. 31-33.

[37] Imam al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Surabaya: Penerbit al-Hidayah, t.th.), hal 3
[38] Ibid. hal 10
[39] H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. III, (Jakarta: PT. Rajawali Grafindo, 2003), 14-15.
[40] Ramayulis, Nizar Samsul, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam, Quantum Teaching, (Ciputat: 2005), hal 89



[41] Ibid, hal 10
[42] Ibid. hal 101
[43] Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 199), hal 67
[44] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 125

[45] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2002), hlm. 49
[46] M. Amin Syukur,…,hlm. 52-53
[47] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2002), hlm. 45

[48] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 679
[49] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III,…, hlm. 5

[50] Ahmad bin Muhammad al-Hasany, Iqadlul Humam fi Syarhi al-Hikam,(Mesir: al-Haramain, Tanpa Tahun). Hlm 82
[51] Said Hawwa, al-Mustakhlash fi Tazkiyah al-Anfus,alih bahasa oleh Ainur Rofiq Sholeh Tamhid, Mensucikan Jiwa: Konsep Tazkiyah Terpadu,(Jakarta: Rabbani Press, 1999), hlm. 175-176
[52] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III,…,hlm. 56

[53] Hasan Sulaiman, Fatiyah, Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali, (terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz), (Jakarta: P3M,1990.), hal 76