BAB III
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
MENURUT IBNU MASKAWAIH DAN
IMAM AL GHAZALI
A. Ibnu
Maskawaih
1.
Biografi Ibnu Maskawaih
Sebelum
membahas tentang pendidikan akhlak peneliti akan memaparkan biografi dan
riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih. A. Biografi Ibnu Miskawaih Nama lengkapnya
adalah Abu ‘Ali al-Khazim Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia lahir
di Ray (sekarang Teheran) pada tahun 320 H/932 M, dan meninggal di Isfahan pada
tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan
Dinasti Buwaih (320-450/932-1062 M) yang sebagian besar
pemukanya bermazhab Syi’ah.[1] Nama ini diambil dari
nama kakeknya yang
semula beragama Majusi
(Persia) yang kemudian masuk
Islam. Julukannya adalah
Abu „Ali, yang merujuk kepada sahabat „Ali bin Abi Thalib.[2]
Dilihat dari
tahun lahir dan wafatnya,
Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada
di bawah pengaruh Buwaih yang beraliran Syi’ah
dan berasal dari
keturunan Parsi Bani
Buwaih yang mulai
berpengaruh sejak khalifah al-Mustakfi
dari Bani Abbas
mengangkat Ahmad bin
Buwaih sebagai perdana menteri (Amir
al-Umara’) dengan gelar Mu’izz
al-Daulah pada 945 M.
Ayahnya bernama Abu Syuja’ Buwaih, adalah
seorang pemimpin suku yang
amat gemar berperang
dan kebanyakan pengikutnya
berasal dari daerah Pegunungan Dailan di Persia, di daerah
pegunungan pantai selatan laut Waswain yang
merupakan pendukung keluarga Saman.[3]
Tiga
anak Buwaih di antaranya Ahmad bin Buwaih, mengadakan ekspansi ke daerah
selatan, hingga berhasil
menduduki Asfahan, kemudian
Syiraz dan daerah sekitarnya
pada tahun 934
M. Dua tahun
berikutnya dia berhasil menaklukkan Khuziztan.
Kemudian Khuziztan yang
dipilih menjadi ibu
kota kekuasaan mereka. Pada
tahun 945 Ahmad
bin Buwaih berhasil
menaklukkan Baghdad di saat Bani Abbas berada di bawah pengaruh
kekuasaan Turki. Dengan demikian,
pengaruh Turki terhadap
Bani Abbas digantikan
oleh Bani Buwaih yang
dengan leluasa melakukan penurunan
dan pengangkatan khalifah-khalifah Bani Abbas.[4]
Puncak prestasi
atau zaman keemasan
kekuasaan Bani Buwaih
adalah pada masa „Adhud al-Daulah
yang berkuasa dari tahun 367 hingga 372.
’Adhud al-Daulah adalah penguasa
Islam yang pertama
kali menggunakan gelar Syahinzah yang
berarti Maharaja, gelar yang
digunakan raja-raja Persia
Kuno. Kecuali prestasinya dalam
bidang politik yang
luar biasa, yang
telah berhasil menyatukan kembali
kembali negara-negara kecil
yang memisahkan diri
dari pemerintahan pusat hingga menjadi imperium,
besar sebagaimana dialami
pada masa
Harus al-Rasyid, ‘Adhud al-Daulah
amat besar juga
perhatiannya kepada perkembangan
ilmu pengetahuan dan kesusastraan.[5]
Pada masa
inilah Ibnu Maskawaih
memperoleh kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan ‘Adhud al-Daulah,
dan pada masa
ini jugalah Ibnu Maskawaih muncul
sebagai seorang filosofis,
tabib, ilmuwan, dan
pujangga. Tetapi di samping
itu, ada hal
yang tidak menyenangkan hati
Ibnu Maskawaih, yaitu
kemerosotan moral yang
melanda masyarakat. Oleh
karena itulah Ibnu Maskawaih tertarik
untuk menitikberatkan perhatiannya
pada bidang etika Islam.[6]
2.
Riwayat Pendidikan Ibnu Maskawaih
Berbicara riwayat
pendidikan Ibnu Maskawaih bahwa riwayat pendidikan tidak bisa
diketahui secara jelas.
Namun dapat diduga
bahwa pendidikan Ibnu Miskawaih tidak
jauh berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin
berpendapat (seperti yang
dikutip oleh A.
Mustofa) bahwa pendidikan anak
pada zaman Abbasiyah pada
umumnya anak-anak bermula dengan belajar
membaca, menulis, mempelajari
Al-Qur’an, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahsa Arab, (nahwu) dan
arudh (ilmu membaca dan membuat syair).[7]
Adapun mata
pelajaran dasar tersebut
diberikan di surau-surau
di kalangan keluarga yang
berada di mana
guru didatangkan ke
rumahnya untuk memberikan les
privat kepada anak-anaknya.
Setelah ilmu-ilmu dasar
itu diselesaikan, kemudian
anak-anak diberikan pelajaran
ilmu fiqh, hadits,
sejarah (khususnya sejarah Arab,
Parsi, dan India)
dan matematika. Selain
itu, juga diberikan macam-macam
ilmu praktis seperti; musik,
bermain catur, furusiah (ilmu kemiliteran).[8]
Diduga Ibnu
Miskawaih pun mengalami
pendidikan semacam itu
pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Ibnu Miskawaih tidak mengikuti les privat, karena ekonomi
keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru privat, terutama pada
mata pelajaran-mata pelajaran lanjutan
yang biayanya sangat mahal. Perkembangan
Ibnu Maskawaih diperoleh
dengan cara memperbanyak membaca buku,
terutama saat memperoleh kepercayaan dari Ibnu al-‘Amid untuk menjaga sebuah
perpustakaan.[9]
Pengetahuan Ibnu
Miskawaih yang amat
menonjol dari hasil
banyak membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat, dan sastra.
Hingga saat ini nama Ibnu Miskawaih dikenal
terutama sekali dalam
keahliannya sebagai sejarahwan dan filosuf.
Sebagai filosuf Ibnu Miskawaih memperoleh
sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu Miskawaih-lah yang
mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang etika.[10]
Pada tahun
348 H, Ibnu
Miskawaih hijrah ke
Baghdad dan mengabdi kepada al-Mahalbi
al-Hasan bin Muhammad
al-Azdi untuk menjadi
seorang sekretaris
pribadinya. Setelah al-Mahalbi
meninggal dunia, Ibnu
Miskawaih kembali ke kota
Ray (sekarang Teheran)
kemudian mengabdi kepada
Ibn al-‘Amid, sebagai
kepala perpustakaan sekaligus
sekretaris pribadinya sampai menteri Ibn al-‘Amid pada tahun 360 H.
Ibnu Miskawaih belajar
sejarah, terutama Tarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil
al-Qadli (350 H/960 M), dan memperdalami filsafat pada Ibn al-Khammar,
merupakan tokoh yang dianggap mampu menguasai karya-karya Aristoteles. Sedangkan ilmu
kimia, Ibnu Miskawaih
belajar kepada Abu
al-Thayyib al-Razi.[11]
3.
Karya-karya Ibnu Maskawaih
Seluruh
karya Ibnu Miskawaih tidak lepas dari kepentingan filsafat akhlak,
sehingga tidak mengherankan
jika Ibnu Miskawaih
dikenal sebagai moralis. Ibnu
Maskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga
seorang penulis yang produktif. Mengenai sejak kapan ia menulis, tidak terdapat
informasi yang dapat dijadikan rujukan yang pasti. Dalam buku The History of
the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
a Al-Fauz
Al-Akbar
b. Al-Fauz
Al-Asghar
c. Tajarib Al-Umam (sebuah sejarah tentang
banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M)
d.
Uns Al-Farid (koleksi
anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah
e.
Tartib Al-Sa’adat
(isinya akhlak dan politik
f.
Al-Mustaufa (isinya
syair-syair pilihan)
g.
Jawidan Khirad (koleksi
ungkapan bijak)
h.
Al-Jami’
i.
Al-Siyab
j.
On the Simple Drugs
(tentang kedokteran)
k.
On the Compisition of the Bajats (seni memasak)
l.
Kitab Al-Ashribah
(tentang minuman)
m.
Tahzib Al-Akhlak (tentang
akhlak)
n. Risalat
fi Al-Lazzat wa Al-Alam fi Jauhar Al-Nafs
o. Ajwibat
wa As’ilat fi Al-Nafs wa Al-‘Aql
p. Al-Jawab
fi Al-Masail Al-Salas
q. Risalat
fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
4.
Konsep Pendidikan Islam Ibnu Maskawaih Secara umum
a. Konsep
dasar Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih
Pendidikan Islam tidak terlepasa dari
dasar pendidikan, karena dasar adalah
landasan bagi berdirinya sesuatu yang memberikan arah bagi tujuan yang hendak
dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih dasar pendidikan adalah:
1)
Syariat
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang
dasar pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama
merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan
manusia terbiasa melakukan perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap
menerima kearifan (hikmah), dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh
kebahagiaan berdasarkan penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama
merupakan landasan pokok bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam
proses pendidikan, yang meliputi aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan makhluk lainnya.
2)
Psikologi
Menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan
pengetahuan tentang jiwa erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik,
harus melalui perekayasaan (shina’ah) yang didasarkan pada pendidikan serta
pengarahan yang sistematis. Itu semua tidak akan tercapai kecuali dengan
mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa dipergunakan dengan baik, maka manusia
akan sampai kepada tujuan yang tertinggi dan mulia. Maka dari itu, jiwa
merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan pendidikan. Pendidikan tanpa
pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan. Dengan demikian teori
psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal ini Ibnu
Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada
pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, dan layak
disebut sebagai ‘Bapak Psikologi Pendidikan’.[13]
b.
Tujuan
Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memusatkan perhatiannya kepada filsafat
akhlak. Karena itu corak pemikiran pendidikannya bertendensi moral. Adapun
tujuan pendidikan menurut Ibnu Miskawaih adalah:
1)
Kebaikan
dan kebahagiaan Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia
yang baik, bahagia dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah
suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan
dengan akhlak, etika dan moral. Untuk mencapai tingkatan tersebut, harus
memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang kuat, ilmu pengetahuan
yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan keutamaan dan
konsisten mendalaminya.
2)
Tercapainya
Kemuliaan Akhlak Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa
rasionalnya, dan terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang
berakhlak mulia terletak pada bagian yang menjadikan jiwa rasional ini unggul
dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan pendidikan yang diinginkan Ibnu
Miskawaih adalah idealistik-spiritual, yang merumuskan manusia yang
berkemanusiaan. Rumusan ini sejalan dengan fungsi kerasulan Muhammad yang
digambarkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kebanyakan para ahli pendidik Muslim
sepakat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling pokok adalah pendidikan budi
pekerti dan jiwa. Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam inilah
kemudian menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan Islam.
3)
Sebagai
Sarana Sosialisasi Individu Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan
harus berfungsi sebagai proses sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia
sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu dicapai oleh individu, perlu
bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan ini merupakan
jalan risntis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para
sosiolog modern.[14]
c.
Metode
Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Definisi metode yang digunakan dalam topik ini identik
dengan alat, karena fungsinya sebagai pelancar terjadinya proses pendidikan,
dan cara yang harus dilakukan. Ada beberapa metode pendidikan yang dikemukakan
oleh Ibnu Miskawaih, di antaranya adalah :
1)
Metode
alami (thabi’i)
Manusia mempunyai metode alami yang dilakukan sesuai
dengan proses alam. Cara ini berangkat dari pengamatan potensi manusia, di mana
potensi yang muncul lebih dahulu, selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai
dengan kebutuhan. Menurut Ibnu Miskawaih potensi yang pertama terbentuk
bersifat umum yang juga ada pada hewan dan tumbuhan, kemudian baru potensi yang
khusus manusia. Oleh karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan
kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa syahwiyyah,
kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa ghadhabiyah yang berfungsi
memunculkan cinta kasih, dan baru muncul jiwa nathiqah yang berfungsi memenuhi
kecenderungan pengetahuan. Urutan ini yang disebut dengan metode alamiah.
2)
Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan
subjek didik kepada tujuan pendidikan yang diharapkan yaitu mentaati syariat
dan berbuat baik. Hal ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang menunjukkan
betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan yang terjadi antar
subjek-didik. Nasihat merupakan cara mendidik yang ampuh yang hanya bermodalkan
kepiawaian bahasa dan olah kata.
3)
Metode
Ancaman, Hardikan, dan Hukuman
Berangkat dari metode yang sebelumnya,
jika subjek-didik tidak melaksanakan nilai yang telah diajarkan, maka mereka
diberi berbagai cara secara bertahap sehingga kembali kepada tatanan nilai yang
ada. Seperti ancaman, kemudian baru hukuman, baik bersifat jasmani atau rohani.
4)
Metode
Pujian
Jika subjek didik melaksanakan syariat
dan berperilaku baik, maka ia perlu dipuji dihadapannya. Hal ini agar mereka
merasa bahwa perbuatan tersebut mendapat nilai tambah bagi dirinya. Jika
pandangan ini menyebar, akan semakin gencar subjek-didik melaksanakan
kebajikan.[15]
c.
Asas
Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih
Yang dimaksud dengan asas di sini
adalah hal-hal yang mendasar, yang perlu diperhatikan dalam proses kegiatan
pendidikan seperti:
1) Asas bertahap, yaitu asas yang didasarkan pada
perbedaan yang dimiliki oleh tiap individu agar pendidikan berdaya dan berhasil
guna.
2) Asas kesiapan, di mana manusia mempunyai
kesiapan untuk memperoleh tingkatan, antara yang satu berbeda dengan yang lain.
3) Asas gestalt, yaitu mendahulukan pengetahuan
yang umum, baru yang terinci, karena partikular tidak dapat dipisahkan dari hal
yang universal.
4) Asas keteladanan, yaitu pemberian contoh yang
baik bagi subjek didik, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
5) Asas kebebasan, di mana subjek didik bebas
memilih antara kemuliaan dan kehinaan, atau menjadi makhluk yang setingkat
malaikat. Itu semua diserahkan kepada subjek didik.
6) Asas pembiasaan. Asas ini merupakan upaya
praktek dalam pembinaan subjek didik, sesuai dengan kebiasaan hidupnya, karena
kebiasaan hidup susah untuk diubah.[16]
d. Pendidik Dan Subjek Didik
1) Pendidik
Ibnu Miskawaih mengelompokkan orang
yang melakukan usaha pendidikan di antaranya adalah: orang tua, guru atau
filsuf, pemuka masyarakat dan raja atau penguasa. Guru dan filsuf mempunyai
kedudukan yang istimewa yaitu sebagai Bapak Ruhani, Tuan Manusia dan
kebaikannya adalah Kebaikan Ilahi. Hal ini karena dia mendidik murid dengan
keutamaan yang sempurna (al fadillah at tammah), mengajarinya dengan kearifan
yang mapan (al-hikmahtul balighah) dan mengarahkannya kepada kehidupan yang
abadi (al-hayah al abadiyah) dalam kenikmatan yang kekal (an-ni’mah al
abadiyah). Ibnu Miskawaih menyatakan guru dan filsuf adalah penyebab eksistensi
intelektual manusia.
2)
Subjek
Didik
Pengertian subjek didik yaitu semua
orang yang memperoleh atau memerlukan bimbingan, bantuan dan latihan, baik
berupa ilmu, ketrampilan atau lainnya, guna mengembangkan dirinya sebagai
individu, anggota masyarakat dan hamba Tuhan yang paripurna.
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).[17]
Menurut Ibnu Miskawaih, hubungan antara pendidik dan subjek didik harus didasarkan pada kemanusiaan yaitu cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan dan fadhilah. Hal ini karena manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dan berupaya memperoleh keutamaan. Sehingga dalam pendidikan harus terjadi komunikasi dua arah (interaksi), bahkan multi arah (transaksi).[17]
5.
Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Maskawaih dalam
Kitab Tahdzibul Akhlak
Akhlak merupakan
permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang
sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam Alqur’an seperti
kaum ‘Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang terdapat dalam buku-buku sejarah
menunjukan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh, dan
sebaliknya apabila suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Agama
tidak akan sempurna manfaatnya, kecuali dibarengi dengan akhlak yang mulia.[18]
Pembicaraan mengenai
akhlak tidak akan lepas dari hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini.
Sebagai khalifah manusia bukan saja diberi kepercayaan untuk menjaga, memelihara
dan memakmurkan alam ini tetapi juga dituntut untuk berlaku adil dalam segala
urusannya.
Allah SWT berfirman
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 dan dalam surat Shad ayat 27:
øŒÎ)ur
tA$s%
š•u‘
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
’ÎoTÎ)
×@Ïã%y`
’Îû
ÇÚö‘F{$#
Zpxÿ‹Î=yz
( (#þqä9$s%
ã@yèøgrBr&
$pkŽÏù
`tB
߉šøÿãƒ
$pkŽÏù
à7Ïÿó¡o„ur
uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ωôJpt¿2 â¨Ïd‰s)çRur y7s9 ( tA$s% þ’ÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
(QS: Al Baqarah: 30)
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS: Al Baqarah: 30).
$tBur $uZø)n=yz uä!$yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tBur $yJåks]÷t WxÏÜ»t 4
y7Ï9ºsŒ `sß tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. 4
×@÷ƒuqsù tûïÏ%©#Ïj9
(#rãxÿx. z`ÏB Í‘$¨Z9$# ÇËÐÈ (QS: Shad: 27)
Artinya:
“dan Kami tidak menciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian
itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu
karena mereka akan masuk neraka”(QS: Shad: 27).
Sebagai makhluk, manusia harus berusaha
mencapai kedudukannya sebagai hamba yang tunduk patuh terhadap segala perintah
dan larangan Allah, Allah berfirman dalam surat Ad-Dzariyyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ (QS: Ad-Dzariyyat:
56)
Artinya:
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS: Ad-Dzariyyat:
56).
Akhlak dalam Islam
mempunyai beberapa prinsip utama yang menjadi landasan pemikiran. Pertama, Islam berpihak pada teori
tentang etika yang bersifat universal dan fitri. Allah berfirman pada surat
Al-Syams ayat 8-10:
$ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ô‰s% yxn=øùr& `tB $yg8©.y— ÇÒÈ ô‰s%ur z>%s{ `tB $yg9¢™yŠ ÇÊÉÈ
Artinya:
“Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya”.
Dalam sebuah hadits Nabi
Muhammad SAW, mengajarkan agar untuk
mengetahui baik dan buruknya sebuah perbuatan, kita harus bertanya kepada hati
nurani kita. Nabi SAW menyatakan, “perbuatan baik adalah yang membuat hatimu
tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Artinya
semua manusia pada hakikatnya baik itu muslim atau bukan memiliki pengetahuan
fitri tentang baik dan buruk. Kedua,
moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan, yakni menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya. Ketiga,
tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan
kebahagiaan bagi pelakunya.[19]
Menurut Ibn Miskawaih,
untuk menuju pada kesempurnaan diri, manusia harus melaluinya dengan aplikasi
akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-nafs) yang mengandung daya
dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan.[20]
Sikap mental ini terbagi
dua, ada yang berasal dari watak dan ada juga yang berasal dari kebiasaan dan
latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan
sehat. Sebab dengan landasan yang demikian akan melahirkan perbuatan-perbuatan
baik tanpa kesulitan. Berdasarkan ide diatas Ibn Miskawaih secara tidak
langsung menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan bahwa akhlak
yang berasal dari watak tidak mungkin berubah.[21]
Berbicara mengenai pokok
keutamaan akhlak yang disajikan oleh Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa
ketentuan yang harus ditempuh, oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan
akhlak. Ibn Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah”
tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau
polisi tengah antara dua ekstrim.
Ibnu Miskawaih
menegaskan bahwa kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan.
Dengan demikian, dijumpai ditengah masyarakat ada dua orang yang memiliki
akhlak yang dekat kepada malaikat dan ada pula yang lebih dekat kepada hewan.
Pemikiran ini sejalan dengan ajaran Islam. Alqur’an dan Hadits sendiri
menyatakan bahwa diutusnya Nabi Muhamad adalah untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Hal ini terdiri dari salah satu tujuan melakukan ibadah adalah untuk
pembentuk watak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku masyarakat
dan pribadi muslim. Bahkan, akhlak sering dijadikan ukuran sebagai keberhasilan
seseorang dalam mengajarkan ajaran Islam yang dianutnya.
Berbicara mengenai pokok
keutamaan akhlak Ibn Miskawaih, beliau memberikan beberapa ketentuan atau jalan
yang harus ditempuh oleh setiap individu demi mencapai kesempurnaan akhlak Ibn
Miskawaih secara umum memberi “pengertian pertengahan/jalan tengah” tersebut
antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi
tengah antara dua ekstrem. Akan tetapi beliau lebih cenderung berpendapat bahwa
keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem
kelebihan dan ekstrem kekuatan masing-masing jiwa manusia, yang mana jiwa ini
berasal dari pancaran Tuhan. Dalam hal ini Ibn Miskawaih memberi tekanan yang
lebih bagi pribadi masing-masing manusia. Menurut Ibn Miskawaih jiwa manusia
ini ada tiga, jiwa al-Nafs al-Bahimiyyah (nafsu), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah
(berani), dan
jiwa al-Nafs al-Natiqah
(berfikir/rasional). Posisi tengah
jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesunyian diri, posisi tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah
adalah keberanian, dan yang terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari
posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/keseimbangan. Dan
alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap pertengahan adalah akal dan
syari’at.[22]
Berikut
ini rincian pokok keutamaan akhlak menurut Ibn Miskawaih:
a. Kebijaksanaan
Kebijaksanaan
merupakan sebuah keadaan jiwa yang memungkinkan jiwa seseorang mampu membedakan
antara yang benar dan yang salah. Dalam semua keadaan Ibnu Miskawaih
berpendapat bahwa kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa rasional yang mengetahui
segala yang maujud, baik hal-hal yang bersifat ketuhanan maupun hal-hal yang
bersifat kemanusiaan. Pengetahuan ini melahirkan pengetahuan rasional yang
memberi keputusan antara yang wajib dilaksanakan dengan yang wajib
ditinggalkan.[23]
Ibnu
Miskawaih juga memberi pengertian bahwa, kebijakan adalah pertengahan antara
kelancangan dan kedunguan. Yang dimaksud dengan kelancangan disini adalah
penggunaan daya pikir yang tidak tepat. Adapun yang yang dimaksud dengan
kedunguan ialah membekukan dan mengesampingkan daya pikir tersebut walau
sebetulnya mempunyai kemampuan untuk menggunakannya, bukan pada sisi kualitas
daya pikir.[24]
Secara
sederhana dapat kita cermati maksud dari kebijaksanaan disini adalah kemampuan
dan kemauan seseorang menggunakan pemikirannya sebagai secara benar untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga mendapatkan pengetahuan yang rasional. Yang
kemudian pengetahuan ini diaplikasikan dalam wujud perbuatan berupa keputusan
tersebut.[25]
b. Keberanian
Keberanian
merupakan keutamaan dari jiwa yang muncul pada diri manusia pada saat nafsu
terbimbing oleh jiwa. Artinya tidak takut terhadap hal-hal yang besar. Sifat
seperti ini kedudukannya pertengahan antara pengecut dan nekat. Pengecut adalah
takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditakuti. Adapun nekat
adalah berani terhadap sesuatu dan menafikan sebuah konsekuensi. Gejala
terbesar dari keberanian ini berupa tetapnya pikiran ketika berbagai bahaya
datang. Kondisi seperti ini akan hadir karena faktor ketenangan dan keteguhan
jiwa dalam menghadapi segala hal. Sehingga jikaditinjau dari sifat dasar jiwa,
pada dasarnya jiwalah yang mampu membedakan antara manusia dan binatang. Jiwa
dalam hal ini memanfaatkan badan untuk menjalin hubungan dengan alam wujud yang
lebih spiritual dan tinggi.[26]
Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa seseorang yang mampu menempatkan keberanian pada
posisinya adalah manusia yang bisa memanfaatkan jiwa menurut esensinya.
c. Menjaga Kesucian Diri
Menjaga
kesucian diri merupakan keutamaan jiwa yang akan muncul pada diri manusia
apabila nafsunya dikendalikan oleh pikirannya. Sehingga mampu menyesuaikan
pilihannya dengan tepat dan tidak dikuasai serta diperbudak oleh nafsunya.[27]
Kesucian
diri yang terdapat pada setiap orang akan berbeda-beda tergantung bagaimana
seseorang bisa mengatur hati dan tingkah lakunya dalam aplikasi kesehariannya.
d.
Keadilan
Keadilan adalah bagaimana sikap
seseorang bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat dan porsinya
masing-masing. Keadilan yang dimaksud Ibnu Miskawaih dalam hal ini berarti
kesempurnaan dari keutamaan akhlak yaitu perpaduan antara kebijaksanaan,
keberanian, dan menahan diri, sehingga menghasilkan keseimbangan berupa
keadilan. Adapun keadilan yang diupayakan manusia dalam hal ini adalah menjaga
keselarasan atau keseimbangan agar tidak saling berselisih dan menindas antara
satu dengan yang lainnya. Hal ini berlaku bagi kesehatan jiwa dan tubuh, hal
ini bisa tercapai apabila manusia dapat menjaga keseimbangan dalam temperamen
yang moderat.
Dari uraian tersebut dapat diperoleh
pemahaman bahwa, keadilan yang diupayakan manusia diarahkan kepada dirinya dan
orang lain. Sehingga pokok keutamaan akhlak yang dimaksudkan Ibnu Miskawaih
adalah terciptanya keharmonisan pribadi dengan lingkungannya. Dapat kita pahami
bahwa ahlak merupakan jalan tengah mengajarkan seseorang untuk mengajarkan
seseorang untuk mencari jalan keselamatan. Mengingat pentingnya pembinaan
akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak
manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan
fitrahnya manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang dimulai dari masa
kanak-kanak. Beliau menyebutkan masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa
hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak secara perlahan berakhir dan
jiwa manusiwi dengan sendirinya akan muncul sesuai dengan perkembangan
kehidupan manusia.
Dalam pendidikan akhlak tidak terlepas dari
komponen-komponen, yang didalamnya meliputi beberapa hal, dibawah ini akan
diuraikan komponen-komponen pendidikan akhlak menurut ibnu maskawaih, yaitu meliputi:
a. Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn
Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan
untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan
dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat).
Dengan alasan ini, maka Ahmad’Abd Al-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa
menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang
akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup
manusia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak. Al-sa’adat merupakan konsep
komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity),
keberhasilan (success), kesempurnaan
(perfection), kesenangan (blessedness), dan kebagusan/kecantikan.
Seperti telah disinggung pada pembahasan
sebelumnya, al-sa’adat dalam pengertian di atas, hanya bisa diraih oleh para
nabi dan filosof. Ibn Miskawaih juga meyadari bahwa, orang yang mencapai
tingkatan ini sangat sedikit. Oleh sebab itu, akhirnya ia perlu menjelaskan
adanya perbedaan antara kebaikan (al-khair)
dan al-sa’adat. Di samping juga membuat berbagai tingkatan al-sa’adat. Kebaikan
bisa bersifat umum, sedangkan al-sa’adat merupakan kebaikan relatif, bergantung
orang perorang (al-khair bi al-idafat ila
shahibiha). Menurutnya, kebaikan mengandung arti segala sesuatu yang
bernilai (al-syai’ al-nafi). Oleh
karenanya, kebaikan merupakan tujuan setiap orang.
b.
Materi
Untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan, Ibn
Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu di pelajari, diajarkan atau di
praktikan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibn Miskawaih
menghendaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberikan
jalan bagi tercapainya tujuan. Materi-materi tersebut oleh Ibn Miskawaih
dijadikan pula sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah swt. Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat
dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya:
1)
Hal-hal
yang wajib bagi kebutuhan tubuh.
2)
Hal-hal
yang wajib bagi jiwa, dan
3)
Hal-hal
yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak
membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum
mempelajarinya.
c. Pendidik
dan Anak Didik
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan
pendidik pertama bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu dijadikan acuan
pendidikin dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih
berpendapat bahwa, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi
syariat tidak menjadi persoalan. Dasar pertimbangannya adalah karena semakin
lama anak-anak akan mengetahui penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka
tetap memelihara sehingga dapat mencapai keutamaan. Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak
ruhani, tuan manusiawi atau orang yang dimuliakan, kebaikan yang akan diberikan
adalah kebaikan Illahi, karena ia membawa anak didik kepada kearifan,
mengisinya dengan kebajikan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan
abadi.
d. Lingkungan Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, usaha mencapai
al-sa’adat tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar
saling tolong-menolong dan saling melengkapi,
kondisi demikian akan tercipta kalau sesama manusia saling mencintai.
Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan sendirinya akan terwujud karena
kesempurnaan yang lainnya. Jika tidak demikian, maka al-sa’adat tidak dapat
terwujud sebagai makhluk sosial. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam
ini, manusia memerlukan kondisi yang baik di luar dirinya. Ia juga menyatakan
bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarganya dan
orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari saudara, anak, kerabat,
keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman. Disamping itu, Ibn Miskawaih
berpendapat bahwa salah satu tabi’at manusia adalah tabi’at memelihara diri,
karena itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya
bersama dengan mahluk sejenisnya. Diantara cara untuk menempuhnya adalah dengan saling
bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan
cinta sesamanya.
e.
Metode
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai
akhlak yang baik adalah pertama,
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan
diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk
memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan
jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain
sebagai cermin bagi dirinya.[28]
B.
Imam
Al Ghazali
1.
Biografi
Imam Al-Ghazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al-Ghazali.[29]
Lahir pada tahun 45 Hijriah (1058 Masehi), di Desa Teheran, Distrik Thus,
Provinsi Khurasan Persia[30],
yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam dan
meninggal di kota Thus setelah ia mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu dan
ketenangan batin. Nama Imam Al-Ghazali dan Thus dinisbahkan kepada tempat
kelahirannya.[31] Dia
dikenal sebagai seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, seorang teolog,
seorang filosof dan sufi termasyhur. Imam Al-Ghazali adalah keturunan asli
Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Bani Saljuk yang
memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia, dan Ahwas. sejak
kecil, beliau memiliki nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad.
Kemudian sesudah ia berumah tangga dan memiliki putra bernama Hamid, maka dia
dipanggil Abu Hamid.
Dalam dunia Barat, ia dikenal dengan nama latin "Algazel".Ada
dua macam penulisan mengenai nama sebutan Imam Al-Ghazali. Pertama sebutan itu
ditulis dengan satu huruf “z” yaitu Al-Ghazali. Sedangkan yang kedua ditulis
dengan dua huruf “z” atau dengan tasydid yaitu Al-Ghazzali. Tentang hal ini,
Ali al-Jumbulati Abdul Futuh al-Tuwaanisi berpendapat bahwa sebutan al-Ghazzali
(dengan dua huruf “z”) dinisbatkan atau dikaitkan kepada pekerjaan ayahnya
sebagai pemintal wool.
Sepertinya keluarga Imam Al-Ghazali adalah keluarga yang
menekuni sebagai pemintal wool, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Maulana
Syibli Nu’mani, bahwa nenek moyang Abu Hamid Muhammad adalah pemilik sebuah
usaha penenunan (ghazzal), dan oleh karena itu dia meletakkan nama famnya
“Ghazali” (Penenun). Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada hari senin tanggal 14
Jumadil Akhir tahun 505 H (1111 M) di Thus, dan beliau meninggalkan tiga orang
anak perempuan dan satu anak laki-laki yang bernama Hamid, yang telah meninggal
dunia sejak kecil sebelum wafatnya Imam Al-Ghazali. Karena anak laki-lakinya
inilah kemudian Imam Al-Ghazali diberi gelar “Abu Ahmadi” (Bapaknya si Hamid).[32]
Jenazah Imam Al-Ghazali dikebumikan di makam Ath
Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang
termasyhur, yang juga diucapkan oleh Francis Bacon, filosuf Inggris, yaitu:
“Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang
sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat
manusia di masa yang akan datang”.
Kematian Imam Al-Ghazali, bahwa pada hari senin dini
hari menjelang shubuh, beliau bangkit dari tempat tidurnya lalu menunaikan
shalat shubuh, setelah itu menyuruh seorang pria untuk membawakan kain kafan.
Setelah kain itu diberikan kepadanya, beliau mengangkatnya hingga ke mata lalu
beliau berkata, “perintah Tuhan dititahkan untuk ditaati.” Setelah itu, beliau
meluruskan kakinya dan bernafas untuk terakhir kalinya.[33]
1.
Riwayat
Pendidikan Imam Al-Ghazali
Pendidikan pertama yang didapat oleh Imam Al-Ghazali
adalah dari keluarga yang taat beragama dan bersahaja. Dari keluarga itulah
Imam Al-Ghazali mulai belajar Al-Qur'an. Sang ayah selalu menanamkan
nilai-nilai keagamaan terhadap Imam Al-Ghazali sebab beliau bercita-cita agar
putranya itu kelak menjadi ulama' yang pandai dan suka memberi nasehat. Setelah
mengenyam pendidikan dari keluarga, pada saat umur 7 tahun Imam Al-Ghazali
melanjutkan pendidikannya ke madrasah di Thus untuk belajar fiqh, riwayat para
wali dan kehidupan spiritual mereka, menghafal syair-syair mahabbah (cinta)
kepada Allah, tafsir Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan guru fiqhnya di madrasah
tersebut adalah Ahmad bin Muhammad al-Razikani seorang sufi besar.[34]Kemudian
pada usia 15 tahun Imam Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan berguru pada Abu Nasr
al-Isma'ily. Di sini ia mendapat pelajaran agama Islam seperti di Thus, tetapi
sudah mulai mempelajari pelajaran bahasa Arab dan bahasa Persia. Setelah
menamatkan studinya di Jurjan, pada usia 19 atau 20 tahun Imam Al-Ghazali
melanjutkan pendidikannya ke madrasah Nizamiyah Nizabur, ia berguru pada Yusuf
Al-Nassaj seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan Imamul Haramain
atau Al-Juwayni Al-Haramain (seorang ulama Syafi'iyyah beraliran Asy'ariyyah)
hingga berusia 28 tahun. Tempat pendidikan ini yang paling berjasa dalam
mengembangkan bakat dan kecerdasannya. Selama di madrasah Al-Nizabur ini Imam
Al-Ghazalimempelajari teologi, hukum, dan filsafat. Dalam bimbingan gurunya itu
ia sungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai berbagai
persoalan madzhab-madzhab. Perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya,
ushul fiqhnya, logikanya, dan membaca filsafat maupun hal-hal lain yang
berkaitan dengannya, serta menguasai berbagai pendapat semua cabang ilmu
tersebut.
Setelah al-Juwaini wafat, pengembaraan intelektual Imam
Al-Ghazalidilanjutkan ke Muaskar. Di sini beliau sering mengikuti
pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh Wazir, seorang negarawan Baghdad.
Keikutsertaan Imam Al-Ghazali mengikuti diskusi bersama para ulama di hadapan
Nizam Al-Mulk membuat wazir Baghdad tertarik dengan ketinggian ilmu yang
dimiliki Imam Al-Ghazali. Sehingga pada 484 H/1091 M saat Imam Al-Ghazali baru
berusia 34 tahun diangkat menjadi guru besar (professor) di perguruan tinggi
Nizamiyah. Ketika aktif mengajar di Nizamiyah Baghdad, Imam Al-Ghazalimenghasilkan
beberapa buku fiqh dan ilmu kalam, diantaranya Al-Mustadzhiri(kaum Eskateris
Dzahiriyah), dan Al-Iqtishad fi al-I'tiqad(Jalan Tengah Keyakinan).
Dalam kesempatan tersebut beliau juga tetap aktif
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan tentang filsafat Yunani dan berbagai
aliran yang berkembang saat itu dengan tujuan untuk dapat membantu dalam
mencari pengetahuan yang benar.
Hanya 4 tahun ia menjadi rektor, kemudian pada tahun
1095, ImamAl-Ghazali meninggalkan segala popularitas yang menyertainya, keluarga
dan kemewahan menuju Damaskus untuk menempuh sebuah kehidupan sebagai seorang
sufi yang fakir dan zuhudterhadap dunia. Setelah beberapa tahun beliau kembali
lagi ke Baghdad dan menjadi Imam agama yang sufi serta penasehat spesialis
dalam bidang agama.
Kira-kira sepuluh tahun sesudahnya beliau pergi ke
Nizabur karena permintaan pemerintah untuk mengajar di Madrasah Nizabur dalam
kedudukan sebagai guru. Akan tetapi dalam waktu yang tidak lama, beliau
meninggalkan tugasnya dan kembali ke Thus dimana di tempat tersebut beliau
membangun Madrasah (pesantren) dan mengajar di sana hingga beliau wafat. Pada
masa itulah beliau menulis kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulum al-Din
(menghidupkan kembali ilmu agama).
Itulah latar belakang singkat pendidikan seorang filosof
Imam Al-Ghazali yang penuh lika-liku didalam menuntut ilmu pengetahuan, dari
belum mengerti apapun hingga menjadi seorang ilmuwan, ahli dalam berbagai ilmu
pengetahuan karena ketekunannya menuntut ilmu sampai menghasilkan dan
mewariskan buku-buku berkualitas tinggi kepada generasi pemikir sesudahnya. Imam
Al-Ghazali adalah seorang pemikir islam yang sangat dalam ilmunya dan mempunyai
nafas panjang dalam karangan-karangannya.[35]
2.
Karya-karya
Imam Al-Ghazali
Karangan Imam Al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100
buah. Karena luasnya pengetahuan Imam Al-Ghazali, maka sangat sulit sekali
untuk menentukan bidang spesialisasi apa yang digelutinya. Uraian dari
nama-nama kitab Imam Al-Ghazali tersebut akan penulis sebutkan sesuai kelompok
ilmu pangetahuannya, yaitu:
a.
Kelompok
Filsafat dan Ilmu Kalam, yang meliputi:
Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Al-Iqtishad
fi al-I’tiqad, Al-Munqidz min ad-Dlalal, Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asmillah
al-Husna, Faisal at-Tafriqah Bain al-Islam wa az-Zindiqah, Al-Qishas
al-Mustaqim, Al-Mustadzhirin, Hujjah al-Haqq, Mufsil al-Khilaf fi Usul ad-Din,
Al-Muntaha fi ‘Ilm al-Jidal, Al-Madnun bi’ala Ghairi Ahlihi, Mahk an-Nazar,
Asrar ‘Ilm ad-Din, Al-Arba’in fi Usul ad-Din Iljam al-‘Awam‘an ’Ilm al-Kalam,
Al-Qaul al-Jamil fi Raddhi ‘Ala Man Ghayyara al-Injil, Mi’yar al-‘Ilm,
Al-Intisyar, dan Isbat an-Nazar.
b.
Kelompok
Ilmu Fiqh dan Usul Fisqh, yang meliputi:
Al-Basit, Al-Wasit, Al-Wajiz, Khulasah al-Mukhtasar,
Al-Mustasfa’ min ‘Ilm al-Usul, Al-Mankhul, Syifa’ al-Ghalil fi al-Qiyas wa
at-Ta’lil dan Az-Zari’ah ila Makarim asy-Syri’ah.
c.
Kelompok
Ilmu Akhlak dan Tasawwuf, yang meliputi:
Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Mizan al-‘Amal, Kimiya’ as-Sa’adah,
Misykah al-Anwar, Minhaj al-‘Abidin, Ad-darar al-Fakhirah fi Kasyf ‘Ulum
al-Akhirah Al-Ainis fi al-Wahdah, Al-Qurban ila Allah ‘Azza Wa Jalla, Akhlaq
al-Abrar wa an-Najat min al-Asrar, Bidayah al-Hidayah, Al-Mabadi’ wa al-Ghayah,
Talbis al-Iblis, Nasihah al-Mulk, Al-‘Ulum al-Laduniyah, Ar-Risalah
al-Qudsiyah, Al-Ma’khadz dan Al-Amali.
d.
Kelompok
Ilmu Tafsir, yang meliputi:
Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir at-Tanzil dan Jawahir
al-Qur’an.[36]
3.
Konsep
Pendidikan Islam menurut Imam Al-Ghazali
a.
Pemikiran
Al Ghozali tentang pendidikan
Suatu hal yang menarik dari Al-Ghozali adalah
kecintaannya dan perhatiannya yang sangat besar terhadap moralitas dan
pengetahuan sehingga ia berusaha untuk mengabdikan hidupnya untuk mengarungi
samudra keilmuan. Berangkat dari dahaga akan ilmu pengetahuan serta
keinginannya untuk mencapai keyakinan dan mencari hakekat kebenaran sesuatu
yang tidak pernah puas. Ia terus melakukan pengembaraan intelektualitas,
filsafat, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Inilah sebabnya mengapa pemikiran
Al-Ghozali terkadang inkonsisten dan kadang terdapat kita temui
kontradiksi-kontradiksi dalam kitabnya. Karena di pengaruhi perkembangan sejak
muda sekali dan pada waktu mudanya juga ia sudah banyak menuliskan buah
pikirannya.
Dalam kaitannya terhadap pendidikan Al-Ghozali memberi
pengertian yang masih global. Selain karena memang dalam kitabnya yang paling
Mashur (Ihya’ Ulumuddin) tidak dijelaskan secara rigit tentang pendidikan.
sehingga, kita hanya bisa mengumpulkan pengertian pendidikan menurut Al-Ghozali
yang di kaitkan lewat unsur-unsur pembentukan pendidikan yang ia sampaikan :
“sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah,
Tuhan semesta alam…”
“… dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui
pengajajaran dan bukan ilmu yang tidak berkembang”.[37]
Jika kita perhatikan, pada kutipan yang pertama, kata
“hasil”, menunjukkan proses, kata “mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan
tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua
merupakan penjelasan mengenai alat, yakni disampaikannya dalam bentuk pengajaran.
Adapun yang dimaksudkan Al-Ghozali dalam kutipan
ucapannya diatas adalah sebuah konsep, dimana dalam sebuah pelaksanaan
pendidikan harus memiliki tujuan yang berlandaskan pada pembentukan diri untuk
mendekatkan peserta didik kepada Tuhan. Disamping itu, dalam proses pendidikan,
Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai
moralitas akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat
keduniawian, pendidikan bukan sekedar untuk mencari materi di masa
mendatangnya. Melainkan pendidikan harus memiliki rasa emansipatoris. Subuah
konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh pakar ilmu kritis saat ini.[38]
b.
Tujuan
pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali harus mengarah
kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada
perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan
yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan
diarahkan selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan menyebabkan kesesatan
dan kemundaratan.
Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-ghazali tersebut
dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena ajaran tasawuf memandang
dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, tidak abadi dan akan
rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia
merupakan tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa
yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia.[39]
c.
Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik
merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi
keberhasilan suatu proses pendidikan anak. Pendidik dianggap sebagai maslikul
kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi, pendidik mempunyai jasa
lebih disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua menyelamatkan
anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik menyelamatkannya
dari sengatan api neraka di akhirat.
d.
Peserta
Didik
Dalam menjelaskan peserta didik Al-Ghozali menggunakan
dua kata yakni, Al-Muta’allim (pelajar) dan Tholib Al-Ilmi (penuntut ilmu
pengetahuan). Namun, bila kita melihat peserta didik secara makna luas yang
dimaksud dengan peserta didik adalah seluruh manusia mulai dari awal konsepsi
hingga manusia usi lanjut. Selanjutnya, karena dalam peembahasan ini hanya
terkonsentrasi pada wilayah pendidikan formal maka bahasa peserta didik
terbebani hanya bagi mereka yang melaksanakan pendidikan di lembaga pendidikan
sekolah.[40]
Pemikiran Al-Ghozali yang sangat luas dan memadukan
antara dua komponen keilmuan, sehingga menghantarkan pemahaman bahwa konsep
peserta didik menurutnya peserta didik adalah manusia yang fitrah.
Secara bahasa Kata fitrah berasal dari kata “fathara”
(menciptakan), sama dengan kata “khalaqa”. Jadi kata fitrah merupakan (isim
masdar) yang berarti ciptaan atau sifat dasar yang telah ada pada saat
diciptakannya manusia “asal kejadian”.
1)
Adapun
kaitannya terhadap peserta didik, bahwa fitrah manusia mengandung pengertian
yang sangat luas. Al-Ghozali menjelaskan klasifikasi fitrah dalam beberapa
pokok sebagai berikut:
Beriman kepada Allah.
Beriman kepada Allah.
2)
Kemampuan
dan kesedian untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk
menerima pendidikan dan pengajaran.
3)
Dorongan
ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang merupakan daya untuk berfikir.
4)
Dorongan
biologis yang berupa syahwat dan ghodlob atau insting
5)
Kekuatan
lain lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan disempurnakan.[41]
Dengan demikian konsep fitrah yang diletakkan Al-Ghozali
dalam memahami peserta didik masih memiliki relevansi dengan dunia pendidikan
modern dalam hal sifat-sifat pembawaan, keturunan dan insting manusia.
Hanya saja, dalam hal ini pandangan Al-Ghozali lebih
terkonsentrasi pada nilai moral, belajar merupakan salah satu bagian dari
ibadah guna mencapai derajat seorang hamba yang tetap dekat (taqarrub) dengan
khaliknya. Maka dari itu, seorang peserta didik harus berusaha mensucikan
jiwanya dari akhlak yang tercela.
Selanjutnya syarat yang mendasar bagi peserta didik
seperti diatas mendorong kepada terwujudnya syarat dan sifat lain sebagai
seorang peserta didik, syarat- syarat tersebut antara lain :
1)
Peserta
didik harus memuliakan pendidik dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
Hal ini sejalan dengan pendapat al- ghazali yang menyatakan bahwa menuntut ilmu
merupakan perjuangan yang berat yang menuntut kesungguhan yang tinggi dan
bimbingan dari pendidik.
2)
Peserta
didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya dan sebagai satu
bangunan maka peserta didik harus saling menyayangi dan menolong serta berkasih
sayang sesamanya.
3)
Peserta didik
harus menjauhi diri dari mempelajari berbagai madzhab yang dapat menimbulkan
kekacauan dalam pikiran
4)
Peserta
didik harus mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat, melainkan
ia harus mempelajari berbagai ilmu lainnya dan berupaya sungguh- sungguh
mempelajarinya sehingga tujuan dari setiap ilmu tesebut tercapai.[42]
e.
Metode Dan
Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses
pembelajaran, menurut al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis,
maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode
pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajaran.
Prihal kedua
masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali tentang metode dan media
pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode mujahadah dan
riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli
dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui
adanya pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung
terwujudnya akhlak mulia.[43]
4.
Konsep
Pendidikan akhslak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ikhya’ ‘Ulumudin
a.
Pengertian
akhlak
Imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang
dikenal pemikirannya dalam bidang ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf. Teori
akhlaknya terdapat dalam kitab Mizan al-Amaldan karya akhlak religiusnya
terdapat dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.Diteliti lebih jauh ternyata pembahasan
akhlakdalam Ihya’pada hakikatnya mengikuti pandangan-pandangan yang terdapat
dalam kitab Mizan.Untuk mengetahui identitas sebenarnya tampaknya kita perlu
lebih lanjut mengomentari hubungan kedua kitab tersebut.
Dapat dipastikan bahwa kitab
Mizanadalah karya yang lebih metodis dan komprehensif daripada bagian-bagian
yang berkaitan dengan masalah akhlak dari Ihya’yang berjudul Latihan Jiwa dan
Perilaku Moral, Realitas Nikmatdan cabang-cabangnya. Dua bagian ini tepatnya
ada dalam skema Ihya’yang menyeluruh dan nalar diskursifnya cukup dominan dalam
gaya penyampaiannya. Bagian-bagian ini dimulai dengan premis bahwa “akhlak yang
baik adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw”, di mana ayat-ayat
al-Quran yang berkaitan dengan akhlak banyak ditujukan kepada nabi Muhammad
saw.[44]
Akhlak menurut Imam Al-Ghazali adalah Suatu
sifat yang tertanam dalam jiwa yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan
mudah dan ringan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dulu)”.
Menurut Imam Al-Ghazali, lafadz khuluqdan
khalquadalah dua sifat yang dapat dipakai bersamaan. Jika menggunakan kata
khalqumaka yang dimaksud adalah bentuk lahir, sedangkan jika menggunakan kata
khuluqmaka yang dimaksud adalah bentuk bathin. Karena manusia tersusun dari
jasad yang dapat disadari adanya dengan kasat mata (bashar), dan dariruh dan
nafsyang dapat disadari adanya dengan penglihatan mata hati (bashirah).
Sehingga kekuatan nafsyang adanya disadari dengan bashirahlebih besar dari pada
jasad yang adanya disadari dengan bashar.[45]
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali
menjelaskan bahwa, apabila perbuatan itu baik menurut akal dan syara’, maka
disebut akhlak yang baik. Sebaliknya, bila yang muncul adalah perbuatan yang
jelek maka disebut akhlak yang jelek.
Jadi, standart semua perbuatan terletak
pada syara’ dan akal.Sedangkan yang menentukan baik dan buruk perbuatan manusia
adalah syara’ (al-Quran dan hadits). Pandangan Imam Al-Ghazali ini bertentangan
dengan pandangan Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa baik dan buruk adalah sifat
dzatiyahterhadap perbuatan, yang dapat diketahui dengan akal semata.
Selanjutnya, ImamAl-Ghazali berpendapat
bahwa yang mengetahui baik dan buruk suatu amal adalah keyakinan seseorang.
Barang siapa yang menyangka dirinya suci, maka wajib menjalankan shalat.
Kemudian Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa, salah satu faktor yang menentukan
perbuatan itu jelek atau baik dilihat dari segi kemanfaatan dan
kemadlaratannya. Menurutnya, yang membawa madlaratpastilah jelek secara mutlak.[46]
b.
Pendidikan
akhlak
Istilah yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali dalam hal
ini adalah Tahdzib al-Akhlaq, yang sinonim dengan kataTarbiyah danTa’dib, yang
berarti pendidikan.[47]
Maksud pengertian pendidikan akhlak Imam Al-Ghazali,
sebagaimana yang dirumuskan oleh M. Djunaidi Ghoni adalah menghilangkan akhlak
yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa
adanya perubahan-perubahan akhlak bagi seseorang adalah bersifat mungkin,
misalnya dari sifat kasar kepada sifat kasihan. Disini Imam Al-Ghazali
membenarkan adanyaperubahan-perubahan keadaan terhadap beberapa ciptaan Allah,
kecuali apa yang menjadi ketetapan Allah seperti langit dan bintang-bintang. Sedangkan
pada keadaan yang lain, seperti pada diri sendiri dapat diadakan
kesempurnaannya melalui jalan pendidikan. Menghilangkan nafsu dan kemarahan
dari muka bumi sungguh tidaklah mungkin, namun untuk meminimalisir keduanya
sungguh menjadi hal yang mungkin dengan jalan menjinakkan nafsu melalui
beberapa latihan rohani. Imam Al-Ghazali membagi struktur kerohanian manusia
menjadi empat unsur, yaitu nafs, qalb, ruhdan akal. Keempat unsur tersebut
masing-masing mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan khusus. Pertama adalah
al-nafs. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs(nafsu) dipahami sebagai
dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam al-Qur’an nafs
tidak selalu berkonotasi negatif.[48]
Apabila nafsmenenggelamkan diri dalam kejahatan, mengikuti
nafsu amarah, syahwat dan godaan syetan, maka dinamakan nafs al-ammarah. Bahkan
dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan “jadikanlah sebuah kekalahan dalam
jiwamu (nafs). Maksudnya adalah himbauan agar memposisikan jiwa pada poros
bawah, sehingga jiwa (nafs) tidak merajalela menerjang syaria’at.
Sedangkan nafs dalam pengertian yang kedua adalah
merupakan hakikat, diri, dan dzat manusia karena mempunyai sifat yang latif,
rabbani, dan rohani. Nafs dalam pengertian yang pertama di atas merupakan
bentuknya yang tidak kembali pada Allah swt dan jauh dari Allah swt, sedang
dalam pengertian yang kedua adalah merupakan nafs al-muthmainnahyang diridloi
oleh Allah swt.[49]
c.
Metode
pendidikan akhlak
Akhlak menurut Imam Al-Ghazali dapat berubah dengan
jalan tazkiyah al-nafs, mujahadahdan riyadlah.Alasan yang dipergunakan
ImamAl-Ghazali bahwa akhlak bisa berubah adalah karena akhlak (khuluq)
merupakan bentuk bathin sebagaimana khalquadalah bentuk dlohir dan akhlak yang
baik adalah mengekang atau menundukkan syahwat dan marah.
Hanya saja, menurut Imam Al-Ghazali (sebagaimana yang
dikutip oleh M. Amin Syukur) untuk merubah akhlak itu bervariasi, ada yang
sulit dan ada yang mudah. Hal ini karena adanya perbedaan keadaan pada manusia
itu, misalnya: watak, kuatnya keinginan (syahwat), jeleknya pendidikan, pikiran
yang sesat sehingga salah pandang, dan sebaliknya.
Seperti yang dijelaskan pada sub bab di atas, bahwa ada
tiga macam penyakit jiwa yang berkaitan dengan tazkiyah al-nafs.
Pertama,penyakit jiwa (uyub al-nafs) yang berkaitan dengan syahwat jasmaniah,
seperti suka makan, pakaian, tempat tinggal, dan seksual. Kedua,penyakit hati
(uyub al-qalb) yang berkaitan dengan syahwat hati, seperti cinta kedudukan,
sombong, hasad, dan lain sebagainya. Ketiga,penyakit ruh (uyub al-ruh) yang
berkaitan dengan bagian-bagian kebathinan, seperti mencari karamah dan maqamat.[50]
Said Hawwa juga menambahkan, tazkiyah al-nafsmencakup
lima objek, yaitu: pertama,sesungguhnya penyebab timbulnya kotoran dalam jiwa
adalah kemusyrikan dan hal-hal yang berasal darinya.Kedua,jiwa bisa saja masuk
ke dalam kegelapan nifaq, kekafiran, bid’ah, kegelapan maksiat, dan dosa.
Karena itu, jiwa yang bebas dari berbagai kegelapan dapat berada dalam cahaya
rabbaniyah dan bisa melihat segala sesuatu dengan cahaya. Ketiga, jiwa mempunyai
berbagai syahwat, sedangkan syahwat tersebut ada yang bersifat inderawi dan ada
yang bersifat maknawi. Diantara syahwat inderawi adalah cinta makanan dan
minuman, sedangkan syahwat maknawi adalah suka balas dendam, cinta jabatan, suka
popularitas, dan menyukai kemenangan. Keempat, jiwa mengalami sakit sebagaimana jasad, lalu jiwa
juga mengalami penyakit ujub, sombong, terperdaya, dan curang. Kelima,jiwa bisa
terpengaruh oleh lingkungan, indoktrinasi, lintas pikiran, dan was-was. Sebagai
dampak dari hal tersebut kadang-kadang jiwa mengikuti setan dan kadang
mengikuti aliran sesat.[51]
Lebih lanjut Imam Al-Ghazali mencoba menerangkan metode
terapi kesehatan. Metode ini bertujuan untuk menanamkan kebaikan-kebaikan dalam
jiwa. Menurutnya kebaikan dan keburukan dapat diakses dengan mudah sejauh
kebaikan dan keburukan itu benar telah tercantum dalam syari’at dan adab. Dalam
hal mengobati jiwa dan hati seorang murid, seorang guru dipandang sangat
penting sebagaimana seorang dokter yang mengobati pasiennya. Oleh karena itu,
pertama-tama guru harus mengetahui keburukan yang ada pada jiwa dan hati
seorang muridnya.[52]
d.
Materi
pendidikan akhlak
Materi pendidikan akhlak bukan suatu materi yang harus
dicantumkan dalam kurikulum atau pengajar tertentu, akan tetapi hal ini
merupakan kurikulum tersembunyi ( hidden curiculum). Jadi setiap guru harus
memberikan contoh yang baik kepada anak didik, baik dari segi tingkah laku,
sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di dalam sebuah
sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak pada
kegiatan intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.
Selanjutnya dengan hidden curiculum seorang pengajar
harus memiliki pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala
sesuatu yang berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa
bertingkah laku prososial di lingkungan sekolah. selain itu masyarakat juga
harus bisa disosialisikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral
prososialnya dan perilaku sosialnya melalui ekspose bebas.
Segi lain yang paling menonjol mengenai materi
pendidikan akhlak adalah tidak adanya daftar panjang tentang aturan-aturan yang
harus ditransmisikan terhadap peserta didik. Melalui perbagai artikelnya
nampaknya tidak mengedapankan isi materi tertentu yang diaplikasikan dalam
sebuah kurikulum pendidikan moral. Materi pendidikan akhlak tidak harus memuat
aturan panjang yang harus didikte akan tetapi lebih menekankan
prosedur-prosedur dan pendekatan-pendekatan yang ada kaitannya dengan
situasi-situasi moral. Materi pendidikan moral lebih bersumber pada
norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.[53]
[1] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan
Islam: Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm. 5.
[2] Urnal El-Hikmah, Pendidikan
Etika dalam Perspektif
Ibnu Miskawaih (Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri
Malang, Volume IV, nomor 2, Januari, 2007), hlm. 185.
[3] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2000), hlm. 195.
[4] Ewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),
hlm. 162.
[5] Khaerul Wahidin, Makalah:
Ibn Miskawaih; Filsafat
al-Nafs dan Al-Akhlaq (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 1997), hlm. 5.
[6] Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq. Terj. Helmi
Hidayat, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Jakarta: Mizan, 1999), hlm. 30.
[7] A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2004),
hlm. 168.
[8] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm.
89.
[9] A. Mustofa, Filsafat Islam ,…, hlm. 168.
[10] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm.
89.
[11] Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
hlm. 88.
[12] Sirajudin Har. Filsafat Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2004), hal 128-129
[13] Khaerul Wahidin, Makalah: Ibn Miskawaih; Filsafat Islam
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997), hlm. 5
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm.
27-28.
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
2008), hlm. 14.
[16] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2009), hlm. 15.
[17] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2009), hlm. 1
[18] Suwito, Filsafat Pendidikan
Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 130.
[19] Haidar Bagir, Buku Saku
Filsafat Islam, (Bandung, Mizan, 2005) hal. 207-210.
[20] Muhamad Yusuf Musa, Bain
Al-Din wa Al-Falsafah,(Kairo, Dar Al-Maarif, 1971) hal. 70.
[21] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat
Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986) hal. 61.
[22] Suwito, Filsafat Pendidikan
Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 83.
[23] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq,
ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H), hal.
40.
[24] Ibid, hal. 46.
[25] Suwito, Filsafat Pendidikan
Akhlak Ibn Miskawaih, (Yogyakarta, Belukar, 2004) hal. 99.
[26] Oliver Leamen, Ensiklopedi Tematis
Filsafat Islam, ed. Sayyed Hossein Nasr, (Bandung, Mizan, 2003), hal. 312.
[27] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq, ,…,
hal. 40.
[28] Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq,
ed. Syekh. Hasan Tamir, (Beirut, Mansyurat Dar Maktabat Al-Hayat, 1398H),40-50
[29] A. Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 214.
[30] Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj.
Ismail Jakub, (Semarang: As-Syifa’, 1979), hlm. 9
[31] Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 25.
[32] Mansur Thoha Abdullah,Kritik
Metodologi Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2003), hlm. 24
[33] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din:
Pensucian Jiwa, terj. Muhammad Ereska, (Depok: Iqra’ Kurnia Gemilang,
2005), hlm. 13
[34] Al-Ghazali, Al-Munqidż Min Al-Dlalal,
terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), hlm. 84.
[35] Mansur Thoha Abdullah,Studi Akhlak,… hlm,
… hlm. 31
[36] Ibid. 31-33.
[37] Imam al-Ghazali, Ayyuha al-Walad, (Surabaya: Penerbit
al-Hidayah, t.th.), hal 3
[38] Ibid. hal 10
[39] H. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. III, (Jakarta: PT.
Rajawali Grafindo, 2003), 14-15.
[40] Ramayulis, Nizar Samsul, Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam,
Quantum Teaching, (Ciputat: 2005), hal 89
[41] Ibid, hal 10
[42] Ibid. hal 101
[43] Zainudin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali, (Jakarta:
Bumi Aksara, 199), hal 67
[44] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 125
[45] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III,
(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2002), hlm. 49
[46] M. Amin Syukur,…,hlm. 52-53
[47] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III,
(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2002), hlm. 45
[48] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:
Balai Pustaka), hlm. 679
[49] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III,…,
hlm. 5
[50] Ahmad bin Muhammad al-Hasany, Iqadlul
Humam fi Syarhi al-Hikam,(Mesir: al-Haramain, Tanpa Tahun). Hlm 82
[51] Said Hawwa, al-Mustakhlash fi Tazkiyah
al-Anfus,alih bahasa oleh Ainur Rofiq Sholeh Tamhid, Mensucikan Jiwa: Konsep
Tazkiyah Terpadu,(Jakarta: Rabbani Press, 1999), hlm. 175-176
[52] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din,juz III,…,hlm.
56
[53] Hasan Sulaiman, Fatiyah, Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghazali,
(terj. Ahmad Hakim dan Imam Aziz), (Jakarta: P3M,1990.), hal 76