Monday, November 7, 2016

Data Polisi, 350 Luka akibat Ricuh 4 November


Media Dakwah - Pihak Polda Metro Jaya menyebutkan 350 orang terluka usai "Aksi Damai Bela Islam Tegakkan Keadilan melalui Supremasi Hukum" yang berujung ricuh pada Jumat (4/11/2016) malam.

"Total terdapat 350 orang terluka akibat bentrokan aksi tersebut karena kelelahan, sesak nafas, luka terkena lemparan batu dan bambu," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Awi Setiyono di Jakarta, Senin (7/11/2016).

Awi menyebutkan jumlah total korban luka berdasarkan data dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Dokkes) Polda Metro Jaya dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Disebutkan Awi, 160 korban luka yang dibawa ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan, 90 orang pada beberapa rumah sakit lainnya dan 100 korban ditangani Biddokkes Polda Metro Jaya.

Korban yang ditangani Biddokkes terdiri dari 79 anggota Polri, lima anggota TNI, seorang petugas pemadam kebakaran dan 15 orang sipil.

Saat ini, korban yang masih menjalani rawat inap sebanyak 13 orang di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, RS Polri Kramatjati dan RS Pelni.

Selain terdapat korban luka, aksi yang digagas Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) itu mengakibatkan 21 kendaraan rusak akibat massa bertindak anarkis.

Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat, keagamaan dan mahasiswa berunjuk rasa menolak penistaan agama di sekitar Silang Monumen Nasional (Monas) Jakarta pada Jumat (4/11/2016).

Awalnya, aksi berjalan damai namun massa mulai anarkis selepas shalat Isya sehingga petugas melepaskan tembakan gas air untuk membubarkan konsentrasi pengunjuk rasa. [ts]

Polri, Jangan Bekerja Seperti Pengacara Ahok!


Media Dakwah - Rencana gelar perkara terbuka Bareskrim Polri jangan dijadikan legal standing untuk membela Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait kasus dugaan penistaan agama yang membelitnya.

Hal itu sebagaimana diutarakan kordinator lapangan aksi damai 4 November, Munarman seperti diberitakan RMOLJakarta.com, Senin (7/11).

"Gelar perkara terbuka silakan, tapi jangan sampai saksi dan ahli yang didatangkan tidak objektif demi membela Ahok. Nanti mereka 70 persen, sedangkan 30 persen yang menyatakan Ahok melanggar. Kalau begini polisi bekerja seperti pengacara Ahok, kita yang melapor dituntut berperan sebagai jaksa penuntut umum," jelas dia.

Munarman khawatir, konstruksi pertanyaan nantinya semata-mata untuk menilai sikap MUI. Misalnya, apakah pernyataan Ahok sengaja atau tidak. Selain itu,? bagaimana secara hukum Islam kalau orang sudah minta maaf.

"Jadi, konstruksi pertanyaan jangan untuk meringankan Ahok. Sehingga gelar perkara terbuka didesain untuk mempertontonkan di TV bahwa Ahok tidak bersalah," kata Munarman.

Karenanya, tidak wajar bila gelar perkara terbuka sebagaimana permintaan Presiden Jokowi, tapi polisi malah jadi pembela sekaligus berperan sebagai forum pengadilan.?

"Kalau begitu, lembaga pengadilan dibubarkan saja karena sudah tidak diperlukan lagi. Sekarang cukup diselesaikan di forum gelar perkara polisi," demikian Munarman. [rmol]

Emrus Sihombing: Kunjungi PBNU, Komunikasi Politik Jokowi Bak Pemadam Kebakaran


Media Dakwah - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan melakukan dialog dengan sejumlah pengurus PBNU pada Senin (7/11). Mereka membicarakan berbagai hal, termasuk kondisi situasi politik terkini di Tanah Air.

Menurut Direktur EmrusCorner, Emrus Sihombing, kunjungan itu tentu sangat baik dalam rangka menjalin komunikasi silaturahmi dan atau komunkasi politik antar ulama dan umara (pemerintah). Komunikasi politik, semacam itu, kata dia, idealnya dilakukan berencana dan berkesinambungan secara terus menerus.

"Jangan sampai komunikasi politik baru dilakukan pada saat kondisi sudah genting. Tidak boleh terjadi komunikasi politik pemerintah dengan berbagai pihak seperti pemadan kebakaran," kata Emrus, Senin (7/11).

Emrus mengatakan, dengan demikian, segala persoalan kebangsaan dapat diantisipasi dan mempertemukan kesepatakan sebagai solusi mengatasi persolan kebangsaan lebih dini. Ia menilai aksi damai pada Jumat (4/11), tidak lepas dari ruang komunikasi politik antara pemerintah dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) belum berjalan maksimal. 

Dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi memang telah berhasil melakukan konsolidasi politik menata susunan kabinet dan dukungan politik di parlemen. Namun, sambung dia, keran komunikasi politik antara pemerintah dengan berbagai Ormas masih terkesan terabaikan. 

"Padahal, kekuatan politik real ada di masyarakat yang diwakili oleh kekuatan ormas, baik yang berbasis ideologis, ke-agama-an, profesi dan sebagainya," lanjutnya.

Karena itu, ia menekankan, komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat sipil sama sekali tidak boleh dianggap remeh. Bukti sejarah menunjukkan, peristiwa 1998 lalu lebih dimotori oleh kekuatan sipil daripada kekuasaan partai dan kabinet.

Bila terjalin komunikasi politik yang produktif antara pemerintah dengan Ormas, sangat banyak yang bisa dilakukan bersama dalam membangun karakter kebangsaan. 

Misalnya, kerja sama antara pemerintah dengan organisasi keagamaan dapat diwujudnyatakan dalam bidang kesehatan,  pendidikan dan  program deradikalisasi di ruang publik.  Jadi, pemerintah tidak boleh hanya memprioritaskan pembangunan fisik seperti infrastruktur, tetapi yang tidak kalah pentingnya membangun karakter rasa kebangsaan bagi segenap warga negara Indonesia. [rol]

Gerindra: Aktor Politik Aksi 4/11 Pengaruhi Jokowi dan Takut Ahok Diproses Hukum


Media Dakwah - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut ada aktor politik dibalik insiden kericuhan pada Aksi Bela Islam II ditepis Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid.

Sodik merupakan salah satu dari beberapa Anggota DPR RI yang berpartisipasi dalam aksi 411 lalu. Saat itu, para pendemo yang berkomunikasi dengannya juga tegas membantah ada aktor politik yang menunggangi aksi terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama itu.

"Jadi tidak ada aktor politik dari pihak pendemo," tegasnya kepada wartawan, Senin (7/11).

Kalau pun ada aktor politik seperti yang disampaikan Jokowi, lanjutnya, aktor politik itu adalah aktor politik yang sangat takut Ahok diproses secara hukum.

Aktor politik itulah yang menurutnya mempengaruhi Jokowi sehingga dia lamban tanggapi kasus Ahok dan enggan menemui para pendemo. Padahal dalam kampanye Pilpres 2014 lalu, Jokowi selalu menjanjikan akan selalu bertemu dan ngajak makan setiap yang datang ke Istana Negara.

"Ia buktikan kepada kelompok lain, kecuali kepada kelompok demonstrasi damai tanggal 4," ketusnya.

Kemudian, dia menilai bahwa aktor itu juga mempengaruhi aparat penegak hukum untuk bertindak represif terhadap pendemo yang sudah jelas-jelas sangat kecewa diperlakukan tidak adil oleh Jokowi. Tindakan represif aparat itulah yang menurutnya memicu kericuhan.

Tak hanya itu, menurut Sodik, pernyataan Jokowi juga akan berimbas pada ketenganan antar elit politik. Misalkan pernyataan Ani Yudhoyono yang geram dengan tudingan terhadap keluarga Cikeas.

Padahal menurut dia, sebelum ada statement Jokowi, masalahnya hanya terletak pada aspirasi dan penegakan hukum. 

Jadi bukan soal politik," tandasnya. [rmol]

Buya Syafii Sebut Hanya Otak Sakit yang Nilai Ahok Hina Al Quran, Ketua MUI: Kami Gagal Memahami Buya Syafii


Media Dakwah - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, mengkritik keras fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama.

Dia menegaskan sikap MUI yang menyebut Ahok telah menghina Al Quran dan atau menghina ulama adalah gegabah. [Klik: Sikap Resmi MUI: Ahok Sudah Menghina Al Quran Dan Ulama]

Karena baginya, hanya otak sakit saja yang berkesimpulan Ahok telah menghina Al Quran. [Klik: Buya Syafii Maarif: Ahok Tidak Menghina Al Quran]

Ketua MUI yang juga Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Yunahar Ilyas tak mau memberikan komentar panjang saat dimintai tanggapan atas pernyataan Buya Syafii tersebut.

Ketika dihubungi Kantor Berita Politik RMOL lewat sambungan telepon malam ini, Buya Yunahar, hanya berucap singkat.

"Kita gagal memahami Buya Syafii," ungkapnya. [rmol]

Prof. Jawahir: Semua Unsur untuk Menjerat Ahok Sudah Terpenuhi karena Telah Menimbulkan Gangguan Nasional


Media Dakwah - Penyidik Bareskrim Mabes Polri semestinya tidak sulit untuk menetapkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki T. Purnama sebagai tersangka kasus penistaan agama. Karena sudah terpenuhi semua unsur untuk menjerat Ahok, sapaannya.

Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) Prof. Jawahir Thontowi menjelaskan, dari unsur perbuatan, pernyataan Ahok yang disampaikan dalam sebuah pertemuan di Kabupaten Kepulauan Seribu jelas sebuah penistaan agama/Islam.

"Karena seseorang yang bukan Muslim menggunakan Surat Al Maidah ayat 51 sebagai argumentasi menuduh penduduk Kepulauan Seribu yang tidak memilih Ahok," jelas Prof. Jawahir (Senin, 7/11).

Sedangkan dari unsur niat jahat, katanya melanjutkan, jelas ada unsur kesengajaan untuk melakukan penistaan agama. Sebab peristiwa pada Selasa, 27 September 2016 lalu itu merupakan pemantik yang sesungguhnya sudah berulang kali diucapkan Ahok. 

"Dari aspek bahasa, kesalahannya bukan karena ada tidaknya 'kata pakai', melainkan pada kata "dibohongi". Sehingga konotasinya tidak lain sebagai alasan yang digunakan sebagai argumentasi memperkuat tudingan yang tidak tepat," ungkapnya.

Sementara dari unsur sebab-akibat, hal ini juga sudah terpenuhi. Terbukti unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan umat Islam yang tak terima dengan pernyataan Ahok tersebut.

"Bahwa nyatanya ucapan Ahok atas surat Al Maidah 51 sebagai penistaan atas agama/Islam telah terpenuhi karena telah menimbulkan rasa terhina atau tenista yang menimbulkan gangguan ketertiban secara nasional," tekan dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini. 

Lebih jauh, Prof. Jawahir menjelaskan dugaan tindakan Ahok sebagai delik umum/bukan delik  aduan adalah telah dibuktikan adanya bukti-bukti atau petunjuk yang jelas yaitu secara formal ada fakta TKP di Kepulauan Seribu, ada video tentang Ahok yang cenderung melakulan penistaan atau penghinaan, ada saksi hidup yang mendengarkan, dan juga adanya keterangan dari saksi ahli.

"Ulama-ulama, habaib, intelektual Muslim dan sebagian besar umat Islam adalah golongan yang telah dirugikan hak-hak kebebasan agama karena perkataan Ahok tersebut," tegasnya.

Menurutnya juga, tidak kurang dari dua juta kaum muslimin yang turun ke jalan pada aksi Bela Islam 4 November lalu adalah subyek hukum yang membuktikan perbuatan dan ucapan Ahok adalah salah dan menista harga diri atau harkat dan martabat umat agama sebagaimana diiatur dalam Pasal 156 KUHP.

Dengan demikian, seharusnya proses hukum dilakukan Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan yang akhirnya dapat disimpulkan tanpa ada keraguan (unreasonable doubt)  bahwa Ahok telah melakukan tindakan pidana penistaan yang harus ditetapkan sebagai tersangka dan segera harus dilakukan penahanan.

"Selamat bekerja Bareskrim Polri secara profesional dan berkeadilan serta selamat pula pada relawan Muslim yang turut mengawasi jalannya proses hukum ini," demikian Prof. Jawahir yang juga Direktur Centre of Study for Indonesian Leadership ini. [rmol]

Andi Arief Ungkap Dokumen Rekomendasi Konsultan ke Jokowi Soal Demo 4/11


Media Dakwah - Mantan Staf Khusus Presiden SBY Andi Arief mengungkap laporan konsultan yang diduga dibayar mantan menteri keamanan ke Presiden Jokowi. Laporan itu terkait demonstrasi 4 November lalu.

Andi Arief mengunggah ke Twitter, laporan halaman depan konsultan tersebut.

"Ini laporan halaman depan konsultan yang dibuat mantan menter keamanan ke Presiden, bukan laporan BIN," ujar Andi Arief, lewat akun Twitternya @AndiArief_AA, tadi malam, Minggu (6/11/2016).

Dokumen laporan yang diunggah Andi menyebutkan HASIL MITIGASI konsultan:

1. Demo 4 November sangat terkait dengan Pilkada DKI. Tujuan utamanya dalam jangka pendek adalah untuk menurunkan elektabilitas Ahok.

2. Mengindikasikan adanya upaya untuk membuat komunikasi yang tidak baik dan perseteruan antara TNI-Polri.

3. Presiden Jokowi tidak perlu memberikan komentar hukum tentang kasus "penistaan agama" yang dikenakan pada Ahok.

4. Ada indikasi keterlibatan Cikeas.

5. Sampai dengan saat ini pendukung kelompok "moderat" Islam untuk rencana 4 November masih dalam jumlah kecil. Terbesar berasal dari kelompok 'konservatif' dan "radikal". Karena itu belum terdapat tanda-tanda dini bahwa rencana demo 4 November memunculkan pergeseran dari basis pemilih Ahok.

6. Yang harus dilakukan adalah menjauhkan kelompok moderat besar seperti NU dan Muhammadiyah dari agenda 4 November. (Itu alasan kenapa Jokowi undang pimpinan NU, Muhammadiyah, MUI ke istana sebelum aksi 4 November?)

7. Disarankan untuk melakukan survey tertutup untuk mendeteksi besaran swing voters Muslim setelah demo tanggal 4 November.

8. Direkomendasikan agar partai-partai pendukung Ahok harus berbicara dan menegaskan sikapnya.

9. Disarankan untuk tetap mewaspadai free rider (kelompok teroris yang menumpang isu anti Ahok). Presiden perlu melakukan konsolidasi tertutup dengan K/L terkait.

10. Pada saat demo terjadi disaranakn presiden tetap menjalankan agenda rutin biasa. (Inikah kenapa Jokowi pergi dari Istana dan tidak menerima perwakilan massa aksi?)

11. Bila demo lebih dari jam 18.00 harus dibubarkan sesuai dengan peraturan.

12. Pengamanan demo tetap dilakukan oleh Polri, tetapi pengamanan Istana oleh TNI. Perlu ada koordinator khusus antara TNI dan Polri menjelang 4 November.

13. Ada 3 opsi untuk menindaklanjuti proses hukum yang melibatkan Ahok, yaitu dihentikan, memperpanjang (stalling time), atau dilanjutkan kasusnya. Ketiga opsi tersebut diperkirakan dapat menimbulkan konsekuensi masing-masing terhadap;
(a) Kestabilan keamanan
(b) Dampak elektoral
(c) Konsolidasi internal kepolisian
(d) Kredibilitas pemerintah.
Hasil scoring menunjukkan bahwa proses hukum terhadap Ahok lebih baik diperpanjang.

Andi Arief menegaskkan MITIGASI di atas bukan laporan BIN melainkan dari konsultan.

"Bukan BIN/Kepolisian yang dipercaya Presiden kita, tapi rekomendasi konsultan yang dibayar mantan menteri keamanan," ujar Andi di twitternya.

Laporan ini belum bisa dikonfirmasi kebenarannya.

Dalam dokumen yang diunggah Andi Arief tersebut disebutkan:

Sumber: Intersep dari salah satu kamar/desk politik yang memberikan rekomendasi kepada Presiden Jokowi
Catatan: Belum tentu semua rekomendasi ini diterima dan diambil sebagai kebijakan politik oleh Presiden.

Berikut Dokumen yang diunggah Andi Arief:


Konsultan juga memetakan akun-akun di sosial media Twitter yang disebutnya AKUN ANTI AHOK dan menjadi influencer/penyebar utama Demo 4 Nov.

Berikut dari twit Andi Arief:

[pco]